PEMANTAUAN DAERAH RAWAN PANGAN DI PULAU JAWA
Informasi tentang ketersediaan pangan di suatu daerah sangat
penting kaitannya dengan kecukupan pangan, rawan pangan dan masalah sosial
lainnya. Dalam rangka membantu pemerintah dalam menentukan kebijakan pengadaan pangan di
Indonesia agar tidak terjadi kerawanan pangan, perlu adanya masukan tentang
perkiraan produksi pangan khususnya beras karena sampai saat ini beras masih
menjadi komoditi pangan utama di Indonesia.
Kajian ini bertujuan untuk memberikan
informasi tentang Potensi Daerah Rawan
Pangan khususnya padi berbasis data inderaja satelit dan Sistem Informasi
Geografis (SIG) dengan menggunakan metode yang dikembangkan dari hasil-hasil
penelitian yang telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir. Kajian difokuskan terhadap Pulau Jawa
mengingat bahwa sampai saat ini Pulau Jawa masih menjadi salah satu sentra
produksi padi yang penting di Indonesia.
Perkiraan Potensi Daerah Rawan Pangan secara sederhana didasarkan pada Rasio Produksi dan Kebutuhan beras di
suatu daerah. Analisis dilakukan terhadap daerah di Pulau Jawa pada Kuartal pertama
(Januari – April) tahun 2002. Hasil
kajian diharapkan bermanfaat bagi pemerintah di tingkat pusat maupun daerah
untuk mengantisipasi keadaan rawan pangan sedini mungkin dan mengambil tindakan
yang berkaitan dengan pengadaan pangan.
Berdasarkan data inderaja diperoleh luas panen padi sawah yang agak rendah
(kurang dari 15,000 Ha) pada kuartal pertama (Januari – April) tahun 2002
terjadi di pulau Jawa yang meliputi daerah Garut, Sumedang, Wonosobo, Batang,
Kulon Progo, Pacitan, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang,
Gresik, Sampang, dan Sumenep. Sementara
itu daerah dengan angka perkiraan luas panen yang tinggi (lebih dari 70,000 Ha)
umumnya adalah daerah sentra padi yaitu Karawang, Subang, Indramayu, Cilacap,
Grobogan, Kediri, dan Jember.
Tingkat kehijauan lahan di Pulau Jawa selama bulan Maret
2002 umumnya cenderung menurun. Kondisi yang demikian terjadi di
daerah-daerah sentra padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sebagian daerah
sentra padi di Jawa Timur. Hal ini
berkaitan dengan pertumbuhan padi yang umumnya memasuki fase generatif atau
menjelang panen. Sementara itu untuk
daerah-daerah yang bukan sentra padi, kehijauan lahan yang rendah dapat
disebabkan oleh kondisi lahan yang makin kering atau karena ditanami oleh jenis
tanaman lainnya seperti palawija.
Produktifitas tanaman padi di Pulau Jawa pada Kuartal Pertama 2002
bervariasi besar, yaitu berkisar antara 40.4 – 56.7 Kw/Ha (4.04 – 5.67 Ton/Ha)
di Jawa Barat; 30.6 – 56.6 Kw/Ha di Jawa Tengah, dan antara 35.7 – 55.3 Kw/Ha
di Jawa Timur. Total produksi padi yang dapat dicapai di pulau Jawa pada
Kuartal Pertama Tahun 2002 diperkirakan sebesar 9,108,159.5 Ton, dengan perincian
Jawa Barat dan Banten sebesar 2,881,430.8
Ton, Jawa Tengah sebesar 3,455,841.7
Ton, dan Jawa Timur sebesar 2,770,887.0
Ton.
Daerah yang berpotensi akan mengalami kondisi Rawan Pangan di Propinsi Jawa Barat adalah daerah Bogor, Bandung,
Garut, Tasikmalaya, Majalengka, dan Sumedang.
Sedangkan daerah yang akan mengalami kondisi Agak Rawan yaitu daerah Sukabumi dan Tangerang (Propinsi
Banten).
Di Propinsi Jawa Tengah daerah yang
terindikasikan akan mengalami Rawan
Pangan, yaitu daerah Wonosobo dan Semarang. Sedangkan kondisi Agak
Rawan tidak akan dialami.
Di Propinsi Jawa Timur menunjukkan daerah yang akan mengalami Rawan Pangan yaitu : daerah
Probolinggo, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Sampang, dan
Sumenep. Sedangkan, daerah dengan kondisi Agak
Rawan di Jawa Timur akan dialami di daerah Malang.
Daerah-daerah tersebut dapat menjadi daerah tidak rawan, jika faktor daya
beli masyarakat terhadap pangan cukup tinggi serta aksesibilitas yang tinggi.
Daerah-daerah yang tidak memiliki sumber pangan alternatif lain, kurangnya
pasokan bahan pangan dari luar daerah, serta daya beli masyarakatnya yang kurang,
maka kondisi potensi Rawan Pangan harus diperhatikan dengan serius oleh
Pemerintah Daerah setempat agar segera dapat diantisipasi.
PEMANTAUAN DAERAH RAWAN PANGAN DI PULAU JAWA
Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang
Potensi Rawan Pangan di Pulau Jawa
berbasis data inderaja satelit dan Sistem Informasi Geografis. Perkiraan Potensi Rawan Pangan tersebut
berdasarkan Rasio Produksi-Kebutuhan
beras. Informasi produksi pangan dapat diketahui berdasarkan data produktifitas
dan luas panen tanaman padi dari data inderaja, sedangkan informasi kebutuhan
pangan diperoleh berdasarkan data proyeksi jumlah penduduk tahun 2001 dan laju
pertumbuhan penduduk serta konsumsi pangan per kapita tahun 1998 dan 1999 dari
BPS. Berdasarkan hasil analisis untuk
kuartal pertama tahun 2002 (Januari - April),
di Pulau Jawa menunjukkan bahwa beberapa daerah mengalami Rawan Pangan, yaitu Bogor, Garut,
Majalengka, dan Sumedang di Jawa Barat serta Wonosobo dan Semarang di Jawa
Tengah serta Gresik, Sidoarjo, Jombang, Probolinggo, Pasuruan, Sampang dan
Sumenep di Jawa Timur. Daerah dengan kondisi Agak Rawan terjadi di Sukabumi, Tangerang, Tasikmalaya, Malang, dan
Mojokerto. Meskipun demikian pada kenyataannya kondisi rawan pangan atau agak
rawan tersebut dapat berubah menjadi tidak rawan apabila terdapat produksi
bahan pangan alternatif, daya beli masyarakat yang tinggi, dan pasokan beras
dari daerah lain.
I.
PENDAHULUAN
Kerawanan pangan di suatu daerah perlu
dideteksi sedini mungkin untuk mengantisipasi dampaknya seperti terjadinya gizi buruk dan masalah sosial
lainnya. Kerawanan pangan antara lain diakibatkan oleh rendahnya produksi
pangan dan stok pangan sehingga tidak mencukupi kebutuhan pangan khususnya
makanan pokok beras. Berdasarkan hasil survei lapang, kerawanan pangan juga
diakibatkan oleh rendahnya daya beli masyarakat untuk kebutuhan pangan yang
harganya semakin meningkat karena krisis moneter. Untuk membantu pemerintah
dalam menentukan kebijaksanaan import beras guna memenuhi kebutuhan pangan di
Indonesia agar tidak terjadi kerawanan pangan, perlu adanya masukan tentang
perkiraan produksi pangan khususnya beras karena sampai saat ini beras masih
menjadi komoditi pangan utama di Indonesia.
Perkiraan produksi padi umumnya masih dilakukan dengan cara konvensional
yaitu melalui survei lapangan. Cara konvensional ini membutuhkan biaya tinggi
dan waktu yang lama, apabila dibandingkan dengan teknologi penginderaan jauh.
Survei kondisi lahan dengan mempergunakan teknologi satelit penginderaan jauh
selain waktu perolehan informasinya cepat dan murah, juga cakupan wilayah
surveinya luas dan informasinya dapat diperoleh lebih berkesinambungan.
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan, bahwa teknologi penginderaan jauh
dapat digunakan untuk memberikan informasi secara dini tentang perkiraan luas
panen dan tingkat produktifitas padi. Selanjutnya dengan menerapkan sistem
informasi geografis (SIG), informasi tersebut dapat diintegrasikan ke dalam
model deteksi rawan pangan. Tingkat
rawan pangan ditentukan dari beberapa faktor, baik fisik maupun non fisik
(sosek). Secara fisik tingkat rawan
pangan ditentukan oleh faktor keberhasilan luas panen dan tingkat produktifitas
tanaman pangan yang dipengaruhi oleh
faktor iklim, sedangkan secara sosial ekonomi antara lain dipengaruhi oleh
jumlah dan laju pertambahan penduduk, tingkat konsumsi, daya beli masyarakat,
aksesibilitas dan distribusi bahan pangan.
Namun demikian untuk tujuan memberikan informasi secara cepat tentang
daerah rawan produksi pangan, maka dapat diterapkan pendekatan yang lebih
sederhana yaitu hanya dengan menganalisis keseimbangan antara suplai (produksi)
dengan kebutuhan (konsumsi) pangan. Pendekatan ini digunakan sebagai asumsi
atau batasan dalam penentuan Potensi Rawan Pangan.
Tujuan kegiatan adalah untuk memberikan informasi tentang Potensi Daerah Rawan Pangan di Pulau
Jawa berbasis data inderaja satelit dan SIG.
Hal ini mengingat bahwa Pulau Jawa masih menjadi salah satu sentra
produksi padi yang penting di Indonesia.
Perkiraan Potensi Daerah Rawan Pangan tersebut berdasarkan Rasio Produksi-Kebutuhan beras.
Analisis dilakukan terhadap daerah di Pulau Jawa pada kuartal pertama (Januari
– April) tahun 2002, terutama kondisi pada bulan Maret dan April. Terjadinya banjir di beberapa daerah pada
bulan Januari dan Pebruari akibat hujan yang lebat dan beruntun menyebabkan
terjadinya kegagalan panen pada kedua bulan tersebut. Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi pemerintah di tingkat
pusat maupun daerah untuk mengantisipasi keadaan rawan pangan sedini mungkin
dan mengambil tindakan yang berkaitan dengan pengadaan pangan.
II. METODOLOGI
2.1. Data
Data
yang dibutuhkan untuk perhitungan kondisi rawan pangan adalah sebagai berikut :
1. Data Penginderaan Jauh :
Data penginderaan jauh yang digunakan
terdiri dari :
-
Data OLR (Outgoing Longwave Radiation) yang dapat diekstraksi dari data
NOAA AVHRR atau GMS harian untuk menghasilkan informasi curah hujan bulanan
-
Data satelit GMS untuk menghasilkan informasi liputan dan pergerakan awan
-
Data satelit NOAA AVHRR untuk menghasilkan informasi rataan liputan awan,
dan tingkat kehijauan tanaman (Indeks Vegetasi)
-
Data satelit Landsat TM untuk menghasilkan informasi kondisi aktual lahan
pertanian padi sawah.
Berdasarkan data tersebut dapat
dihasilkan informasi luas panen dan tingkat produktifitas tanaman padi secara
spasial. Selanjutnya, dapat diperoleh
informasi produksi beras. Selain itu
data penginderaan jauh juga digunakan untuk melihat kondisi kehijauan lahan dan
pertumbuhan tanaman padi.
2. Data Sosial Ekonomi :
Data sosial ekonomi diperoleh dari Biro
Pusat Statistik dan hasil survei lapang pada tahun 1998 dan 1999 yang meliputi
:
-
Data kependudukan tiap Dati II di Pulau Jawa,
-
Data konsumsi pangan per kapita tiap Dati II di Pulau Jawa.
2.2. Pengolahan Data
Pengolahan data meliputi perhitungan
produktifitas padi, luas panen padi, produksi beras, dan tingkat kerawanan
pangan. Secara ringkas metode yang diterapkan
disajikan pada Gambar 2-1. Semua
perhitungan dilakukan terhadap basis data batas administrasi daerah tingkat II
(Kabupaten dan Kodya) di pulau Jawa yang dapat dilihat pada Gambar 2-2.
Gambar 2. 1. Metode Analisis Rawan
Pangan Berbasis Data Inderaja dan SIG
2.2.1.
Perhitungan Produktifitas Padi
Langkah-langkah pengolahan data satelit
untuk memperoleh nilai produktifitas padi adalah sebagai berikut:
a) Pemotongan (Cropping)
data NOAA AVHRR untuk lokasi Pulau Jawa
b) Pendugaan dan
prediksi besarnya curah hujan bulanan dengan menggunakan data OLR dengan
formula :
CH = -0.024*OLR2
+ 7.227*OLR – 242.8
CH : Jumlah Curah Hujan bulanan (mm) ;
OLR : Radiasi Balik Gelombang Panjang
(Watt/m2)
c) Perhitungan
liputan awan harian pada areal persawahan untuk tiap daerah Tingkat II dari
data GMS atau NOAA AVHRR.
d) Perhitungan
radiasi yang diterima tanaman (Rn) dengan menggunakan persamaan :
Rn = 34.4 – 9.31*C + 4.21*C2
Rn : Rataan Radiasi Netto Gelombang
Pendek (MJ/m2/hari)
C
: Rataan Prosentase Awan Harian (dalam desimal)
e) Transformasi citra
Indeks Vegetasi (NDVI) dari data NOAA atau Landsat TM dengan formula :
NDVI = 100 + 100*(B2 – B1)/(B1 + B2 )
B1 : Kanal Merah atau Visible. Kanal 1 NOAA atau kanal 3 Landsat TM
B2 : Kanal Infra Merah Dekat. Kanal 2 NOAA atau kanal 4 Landsat TM
Untuk mereduksi pengaruh kondisi cuaca terhadap nilai spektral NDVI, maka
dilakukan teknik overlay Maksimum
terhadap data harian NDVI, sehingga diperoleh NDVI Lima Harian atau Mingguan.
Untuk menegtahui kondisi tingkat kehijauan tanaman padi pada suatu daerah
(kabupaten), maka dilakukan ekstraksi nilai statistik NDVI secara spasial pada
lahan padi sawah saja pada setiap batas.
Nilai statistik spasial NDVI yang diekstrak adalah nilai Median, karena merupakan representasi
dari nilai dominan (Modus) dan
rata-rata (Mean).
f)
Perhitungan produktifitas potensial padi (Y) dengan model VSM (Very
Simple Model) yang diadopsi dari Kobayashi (1996) yang telah divalidasi
(parameter Rn) :
Y = HI 0.85 [1-exp(-0.55 k Lf)] Rn T e C
HI = Harvest index, k = koefisien
pemadaman, Lf = indeks luas daun (leaf area index - LAI) maksimum saat
pembungaan,T = lama/umur tanaman padi, e = efisiensi penggunaan radiasi oleh tanaman padi, C = faktor koreksi
g)
Produktifitas potensial padi (Y) dari VSM yang mendasarkan pada pengaruh
cuaca dikoreksi berdasarkan kondisi fisik tanaman padi melalui produktifitas
padi yang didasarkan pada indek vegetasi tanaman padi sehingga diperoleh
produktifitas aktual padi (Y’) : Y’ = Y x Pt
Di mana Pt adalah rataan tingkat
pencapaian potensial produktifitas padi berdasarkan indek vegetasi tanaman dan
tingkat ketersediaan air (KA) dari data curah hujan OLR. Pt = (IVr / IVm + KA)/2
IVr : nilai NDVI
maksimum selama pertumbuhan vegetatif,
Ivm : nilai NDVI
maksimum yang dapat dicapai selama pertumbuhan vegetatif tanaman padi secara
optimal dengan menggunakan data NOAA (asumsi NDVI maksimum tanaman padi pada
fase puncak vegetatif dalam keadaan pertumbuhan yang baik adalah sebesar 0.40). Prosentase nilai KA ditentukan berdasarkan
pengaruh ketersediaan air terhadap keberhasilan produksi. Tingkat penurunan produktifitas tanaman padi
berdasarkan tingkat ketersediaan air diasumsikan sebagai berikut :
a. Penurunan 4 %, jika ketersedian air > 1000 mm
b. Penurunan 24 %, jika ketersedian air berkisar
antara : 400 – 800 mm
c. Penurunan 36 %, jika ketersedian air : < 400
mm
2.2.2. Pemantauan
Kondisi Pertumbuhan Tanaman Padi
Perubahan-perubahan
fisiologis yang terjadi selama pertumbuhan (fase vegetatif) dan perkembangan
(fase generatif) tanaman serta kondisi lainnya seperti fase air dan bera dapat
dipantau melalui tingkat kehijauan tanaman.
Tingkat kehijauan tanaman tersebut ditunjukkan oleh data NDVI multi
temporal lima harian atau mingguan pada lahan padi setiap daerah.
Fase
vegetatif diindikasikan jika perubahan NDVI bernilai positif antara dua waktu
yang berbeda ( NDVI[t2] – NDVI[t1] ), sedangkan fase
generatif adalah keadaan sebaliknya (perubahan negatif). Untuk suatu seri data, misalnya data lima harian
dalam selang waktu (t) 1 – 1.5 bulan (6 – 9 buah data), maka dapat ditentukan
trend atau kecenderungan perubahan NDVI berdasarkan nilai Slope NDVI (SNDVI), yaitu
dengan formula : SNDVI = CoVar(NDVI_t)/Var(t)
2.2.3. Peramalan
dan Pendugaan Luas Panen
Informasi Luas Panen Tanaman Padi dapat
diperoleh berdasarkan pendugaan umur tanaman padi menggunakan data Landsat TM
maupun NOAA AVHRR. Berdasarkan model
yang telah dihasilkan dalam penelitian sebelumnya, maka dapat dibuat tabulasi
yang menghubungkan kisaran nilai NDVI dengan umur tanaman padi dalam lima
harian atau mingguan. Sementara itu citra Landsat TM diolah untuk menampilkan
kondisi pertumbuhan tanaman padi di beberapa daerah sentra padi di Pulau Jawa.
2.2.4.
Perhitungan Produksi dan Kebutuhan Beras
a) Produksi Padi
Gabah Kering Panen (GKP) diperoleh dengan mengalikan Produktifitas (Y’) dengan
Luas Panen padi. Untuk memperoleh
produksi beras (GKG), maka diperlukan faktor konversi, yaitu sebesar 63.2 %.
b)
Untuk mengetahui kebutuhan beras digunakan data jumlah penduduk per wilayah
administratif (kabupaten) tahun 2001 dari hasil proyeksi berdasarkan jumlah
penduduk tahun 1999 dengan rataan laju pertambahan penduduk/tahun untuk setiap daerah serta rataan konsumsi beras
setiap orang/4 bulan.
c)
Semua hasil perhitungan tersebut di atas dimasukkan dalam Tabel dengan kode
yang sesuai dengan nomor id kabupaten yang ada di Pulau Jawa pada basis data
kabupaten. Selanjutnya penyebaran
spasial informasi tersebut dapat ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak
ArcView.
2.3. Metode
Analisis Daerah Rawan Pangan
Metode yang digunakan untuk analisis
Tingkat Rawan Pangan pada kajian ini adalah berdasarkan faktor fisik dan sosial
ekonomi seperti pada Gambar 2-1. Selain itu dalam memprediksi produksi makanan
tersebut dimasukkan pula faktor resiko gagal panen (kekeringan atau
ketersediaan air, dan hama penyakit). Analisis rawan pangan untuk tiap
kabupaten/kodya hanya memperhitungkan dari produksi beras dan kebutuhan beras. Secara lebih lengkap penentuan Daerah Rawan
Pangan sebenarnya tidak hanya berdasarkan pada keseimbangan antara produksi
beras dengan kebutuhan beras di suatu daerah, tetapi secara kualitatif maupun
kuantitatif dianalisis pula dari potensi produksi bahan pangan lainnya seperti
palawija, yaitu dengan melakukan konversi kalori yang terkandung dalam hasil
produksi palawija. Sementara itu faktor sosial ekonomi lainnya seperti daya
beli masyarakat, aksesibilitas, ketersediaan stok pangan, dan distribusinya
tidak dimasukkan ke dalam perhitungan karena informasi tersebut belum tersedia
dalam basis data.
Penentuan
tingkat Rawan Pangan pada level 1 adalah hanya berdasarkan Ketersediaan Pangan, yaitu berdasarkan produksi dan kebutuhan
pangan pada setiap daerah (faktor sosial ekonomi lainnya (s) = 0). Kondisi Rawan Pangan dapat ditentukan
berdasarkan Rasio Produksi-Kebutuhan Pangan (RPK), yaitu berdasarkan formula :
RPK = 100 x
[(1+s)*Produksi – Kebutuhan] / Kebutuhan
Nilai
RPK negatif menunjukkan daerah rawan atau agak rawan. Kondisi Agak Rawan dapat ditentukan berdasarkan prosentase
sebesar 10 % terhadap nilai 0. Dengan
demikian Kelas Tingkat Kerawanan Pangan (TKP) dapat dibuat menjadi tiga, yaitu
:
a) Kelas Rawan Pangan dengan nilai RPK < -10
b) Kelas Agak Rawan Pangan dengan nilai RPK -10 s/d 10
c) Kelas Tidak Rawan Pangan dengan nilai RPK
> 10
No Daerah 1 Pandeglang 2 Lebak 3 Bogor 4 Sukabumi 5 Cianjur 6 Bandung 7 Garut 8 Tasikmalaya 9 Ciamis 10 Kuningan 11 Cirebon 12 Majalengka 13 Sumedang 14 Indramayu 15 Subang 16 Purwakarta 17 Karawang 18 Bekasi 19 Tangerang 20 Serang No Daerah 21 Cilacap 22 Banyumas 23 Purbalingga 24 Banjarnegara 25 Kebumen 26 Purworejo 27 Wonosobo 28 Magelang 29 Boyolali 30 Klaten 31 Sukoharjo 32 Wonogiri 33 Karanganyar 34 Sragen 35 Grobogan 36 Blora 37 Rembang 38 Pati 39 Kudus 40 Jepara 41 Demak No Daerah 42 Semarang 43 Temanggung 44 Kendal 45 Batang 46 Pekalongan 47 Pemalang 48 Tegal 49 Brebes 50 Kulon Progo 51 Bantul 52 Gunung Kidul 53 Sleman 54 Pacitan 55 Ponorogo 56 Trenggalek 57 Tulungagung 58 Blitar 59 Kediri 60 Malang 61 Lumajang 62 Jember No Daerah 63 Banyuwangi 64 Bondowoso 65 Situbondo 66 Probolinggo 67 Pasuruan 68 Sidoarjo 69 Mojokerto 70 Jombang 71 Nganjuk 72 Madiun 73 Magetan 74 Ngawi 75 Bojonegoro 76 Tuban 77 Lamongan 78 Gresik 79 Bangkalan 80 Sampang 81 Pamekasan 82 Sumenep
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Kondisi
Prosentase Awan Selama Bulan Maret – April 2002
Kondisi liputan awan di pulau Jawa
selama bulan Maret hingga awal April 2002 sangat mempengaruhi potensi radiasi
yang diterima oleh tanaman padi selama masa pertumbuhannya (vegetatif) pada
periode pertama, terutama pasca bencana banjir bulan Januari-Pebruari 2002.
Berdasarkan model untuk menghitung radiasi, maka suatu daerah akan memiliki
radiasi (Rn) minimum sebesar 29.3 jika liputan awan 100 % dan akan memiliki Rn
maksimun sebesar 34.4 jika rataan liputan awannya sebesar 0 %. Berdasarkan perhitungan, maka rataan
potensial radiasi yang diterima oleh tanaman padi untuk setiap daerah di pulau
Jawa disajikan pada Tabel 3-1 serta Gambar 3-1.
Tabel 3-1. Rataan Prosentase Liputan Awan dan Radiasi
Netto (Rn) di P. Jawa
No Daerah % Awan Rn (MJ/m2/Hr) 1 Pandeglang 24 32.5 2 Lebak 28 32.2 3 Bogor 38 31.6 4 Sukabumi 14 33.3 5 Cianjur 13 33.3 6 Bandung 27 32.3 7 Garut 30 32.1 8 Tasikmalaya 13 33.3 9 Ciamis 15 33.1 10 Kuningan 18 32.9 11 Cirebon 11 33.5 12 Majalengka 20 32.8 13 Sumedang 21 32.7 14 Indramayu 14 33.3 15 Subang 19 32.8 16 Purwakarta 26 32.4 17 Karawang 15 33.2 18 Bekasi 27 32.3 19 Tangerang 29 32.1 20 Serang 29 32.1 21 Cilacap 11 33.5 22 Banyumas 27 32.3 23 Purbalingga 37 31.6 24 Banjarnegara 42 31.4 25 Kebumen 10 33.5 26 Purworejo 12 33.4 27 Wonosobo 52 30.8 28 Magelang 34 31.8 29 Boyolali 23 32.6 30 Klaten 26 32.4 31 Sukoharjo 27 32.3 32 Wonogiri 31 32.0 33 Karanganyar 29 32.1 34 Sragen 26 32.3 35 Grobogan 18 32.9 36 Blora 22 32.7 37 Rembang 25 32.4 38 Pati 27 32.3 39 Kudus 23 32.5 40 Jepara 23 32.6 41 Demak 19 32.8 No Daerah % Awan Rn (MJ/m2/Hr) 42 Semarang 23 32.6 43 Temanggung 37 31.6 44 Kendal 19 32.8 45 Batang 27 32.3 46 Pekalongan 18 32.9 47 Pemalang 27 32.3 48 Tegal 22 32.6 49 Brebes 36 31.7 50 Kulon Progo 17 33.0 51 Bantul 22 32.7 52 Gunung Kidul 23 32.6 53 Sleman 28 32.2 54 Pacitan 24 32.5 55 Ponorogo 30 32.1 56 Trenggalek 24 32.5 57 Tulungagung 22 32.6 58 Blitar 27 32.3 59 Kediri 31 32.0 60 Malang 30 32.1 61 Lumajang 22 32.6 62 Jember 34 31.8 63 Banyuwangi 27 32.3 64 Bondowoso 36 31.7 65 Situbondo 14 33.2 66 Probolinggo 19 32.8 67 Pasuruan 18 32.9 68 Sidoarjo 18 32.9 69 Mojokerto 25 32.4 70 Jombang 34 31.8 71 Nganjuk 26 32.4 72 Madiun 21 32.7 73 Magetan 25 32.4 74 Ngawi 26 32.4 75 Bojonegoro 27 32.3 76 Tuban 21 32.7 77 Lamongan 19 32.8 78 Gresik 19 32.8 79 Bangkalan 24 32.5 80 Sampang 24 32.5 81 Pamekasan 33 31.9 82 Sumenep 27 32.3
Gambar 3-1. Rataan Prosentase Awan dan
Radiasi Netto (Rn) Selama Bulan Maret–Dekade Pertama April 2002 di Pulau Jawa
3.2. Kondisi Curah Hujan pada Kuartal Pertama (Januari-April) Tahun 2002
Jumlah air yang diterima tanaman dari curah hujan akan mempengaruhi besarnya
produktifitas tanaman serta keberhasilan panen. Tanaman padi rata-rata memerlukan air maksimum sebesar 200 mm/bulan,
terutama pada fase vegetatif atau 800-1000 mm selama pertumbuhannya (4
bulan). Jika jumlahnya kurang karena
mengalami kekeringan, terutama pada fase vegetatif akan mengurangi
produktifitas. Jika jumlahnya
berlebihan, baik pada fase vegetatif atau generatif akan beresiko banjir atau
genangan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan (fotosintesa terganggu) atau
terjadi gagal panen.
Besarnya curah hujan bulanan dapat diduga dan diramal dengan menggunakan
parameter radiasi balik gelombang panjang (OLR). Fluktuasi curah hujan dan jumlah kumulatifnya di pulau Jawa selama
Kuartal Pertama tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 3-2 dan Gambar 3-2. Berdasarkan Tabel 3-2 tersebut menunjukkan
bahwa semua daerah di pulau Jawa memiliki curah hujan > 700 mm/4 bulan. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa
ketersediaan air dari hujan tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan
produktifitas, walaupun sebenarnya di lapangan terjadi beberapa daerah di Utara
pantai Jawa mengalami bencana banjir pada bulan Januari dan Pebruari.
Tabel 3-2.
Jumlah Curah Hujan Selama Kuartal Pertama (Januari-April) 2002 di P.
Jawa
No Daerah CH (mm) 1 Pandeglang 877 2 Lebak 875 3 Bogor 874 4 Sukabumi 854 5 Cianjur 848 6 Bandung 849 7 Garut 837 8 Tasikmalaya 788 9 Ciamis 833 10 Kuningan 842 11 Cirebon 849 12 Majalengka 848 13 Sumedang 851 14 Indramayu 856 15 Subang 860 16 Purwakarta 861 17 Karawang 870 18 Bekasi 876 19 Tangerang 887 20 Serang 898 21 Cilacap 832 22 Banyumas 830 23 Purbalingga 832 24 Banjarnegara 830 25 Kebumen 787 26 Purworejo 801 27 Wonosobo 828 28 Magelang 800 29 Boyolali 806 30 Klaten 755 31 Sukoharjo 749 32 Wonogiri 737 33 Karanganyar 751 34 Sragen 808 35 Grobogan 814 36 Blora 817 37 Rembang 821 38 Pati 822 39 Kudus 820 40 Jepara 803 41 Demak 779 No Daerah CH (mm) 42 Semarang 766 43 Temanggung 802 44 Kendal 824 45 Batang 817 46 Pekalongan 810 47 Pemalang 805 48 Tegal 814 49 Brebes 837 50 Kulon Progo 837 51 Bantul 838 52 Gunung Kidul 840 53 Sleman 840 54 Pacitan 727 55 Ponorogo 740 56 Trenggalek 731 57 Tulungagung 741 58 Blitar 745 59 Kediri 764 60 Malang 769 61 Lumajang 756 62 Jember 751 63 Banyuwangi 742 64 Bondowoso 763 65 Situbondo 772 66 Probolinggo 767 67 Pasuruan 788 68 Sidoarjo 827 69 Mojokerto 811 70 Jombang 792 71 Nganjuk 770 72 Madiun 757 73 Magetan 749 74 Ngawi 809 75 Bojonegoro 816 76 Tuban 821 77 Lamongan 822 78 Gresik 833 79 Bangkalan 838 80 Sampang 840 81 Pamekasan 841 82 Sumenep 845
Gambar 3-2. Jumlah Curah Hujan Selama
Kuartal Pertama (Januari- April) 2002 di Pulau Jawa
3.3. Kondisi Tingkat Kehijauan
Lahan Padi Sawah di Pulau Jawa
Berdasarkan
hasil pengamatan menunjukkan bahwa data bulan Maret 2002 lebih baik digunakan
untuk analisis tingkat kehijauan lahan padi, produktifitas, dan luas
panen. Hal tersebut disebabkan karena
kondisi liputan awan yang tinggi pada bulan Januari, Pebruari, serta April
2002. Selain itu akibat bencana banjir
bulan Januari, dan Pebruari dapat dilihat pada bulan Maret 2002.
Berdasarkan
perkembangan kehijauan lahan padi yang ditunjukkan oleh nilai indeks vegetasi
(NDVI) terlihat bahwa sebagian besar daerah Pulau Jawa makin berkurang selama
bulan Maret 2002. Penurunan tingkat
kehijauan lahan di daerah-daerah sentra padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
sebagian daerah sentra padi di Jawa Timur berkaitan dengan pertumbuhan padi
yang umumnya memasuki fase generatif atau menjelang panen, seperti yang
terlihat dari angka luas panen yang tinggi di daerah-daerah tersebut. Fase generatif diindikasikan oleh nilai slope
NDVI yang negatif, sedangkan indikasi gejala kekeringan ditandai oleh nilai
rataan NDVI yang kecil selama sebulan, yaitu < 0.24 (60 % dari 0.40 ).
Nilai rataan NDVI
selama pertumbuhan padi dan grafiknya dapat dilihat pada Tabel 3-3. dan Gambar
3-3. Berdasarkan Tabel tersebut daerah
yang memiliki slope negatif dan NDVI < 0.24 antara lain : Cianjur, Sumedang,
Indramayu, Jepara, Pekalongan, Wonosobo, Kediri, Jember, Jombang, Sampang, dan
Pamekasan. Sebaran spasial NDVI pada
lima harian pertama bulan Maret 2002 dapat dilihat pada Gambar 1 lampiran.
Tabel 3-3. Rataan dan Slope NDVI Lahan Padi Selama
Bulan Maret 2002 di P. Jawa
No Daerah NDVI Slope 1 Pandeglang 0.22 0.002 2 Lebak 0.28 -0.003 3 Bogor 0.20 0.011 4 Sukabumi 0.34 0.003 5 Cianjur 0.24 -0.005 6 Bandung 0.21 0.002 7 Garut 0.23 0.015 8 Tasikmalaya 0.25 0.001 9 Ciamis 0.29 -0.001 10 Kuningan 0.25 -0.030 11 Cirebon 0.30 -0.008 12 Majalengka 0.16 0.007 13 Sumedang 0.21 -0.018 14 Indramayu 0.24 -0.009 15 Subang 0.22 0.009 16 Purwakarta 0.23 0.002 17 Karawang 0.26 0.004 18 Bekasi 0.17 0.013 19 Tangerang 0.24 0.008 20 Serang 0.26 -0.004 21 Cilacap 0.28 -0.008 22 Banyumas 0.25 0.002 23 Purbalingga 0.22 0.005 24 Banjarnegara 0.28 -0.011 25 Kebumen 0.34 -0.020 26 Purworejo 0.33 -0.011 27 Wonosobo 0.21 -0.050 28 Magelang 0.24 0.018 29 Boyolali 0.28 0.014 30 Klaten 0.22 0.003 31 Sukoharjo 0.21 0.006 32 Wonogiri 0.24 0.004 33 Karanganyar 0.23 0.005 34 Sragen 0.21 0.023 35 Grobogan 0.24 0.019 36 Blora 0.28 0.007 37 Rembang 0.31 0.009 38 Pati 0.24 0.028 39 Kudus 0.14 0.009 40 Jepara 0.24 -0.023 41 Demak 0.13 0.022 No Daerah NDVI Slope 42 Semarang 0.26 0.016 43 Temanggung 0.26 0.023 44 Kendal 0.26 0.000 45 Batang 0.29 0.007 46 Pekalongan 0.24 -0.018 47 Pemalang 0.25 -0.016 48 Tegal 0.29 -0.008 49 Brebes 0.25 -0.023 50 Kulon Progo 0.31 0.008 51 Bantul 0.27 -0.007 52 Gunung Kidul 0.27 0.032 53 Sleman 0.25 0.005 54 Pacitan 0.32 0.004 55 Ponorogo 0.27 0.009 56 Trenggalek 0.31 -0.004 57 Tulungagung 0.29 0.001 58 Blitar 0.29 0.004 59 Kediri 0.24 -0.002 60 Malang 0.30 0.006 61 Lumajang 0.29 -0.004 62 Jember 0.24 -0.007 63 Banyuwangi 0.30 0.004 64 Bondowoso 0.22 0.011 65 Situbondo 0.33 -0.002 66 Probolinggo 0.28 0.012 67 Pasuruan 0.26 0.021 68 Sidoarjo 0.23 0.041 69 Mojokerto 0.25 0.014 70 Jombang 0.24 -0.004 71 Nganjuk 0.21 0.019 72 Madiun 0.19 0.019 73 Magetan 0.24 0.001 74 Ngawi 0.19 0.023 75 Bojonegoro 0.19 0.016 76 Tuban 0.27 0.006 77 Lamongan 0.12 0.024 78 Gresik 0.09 0.034 79 Bangkalan 0.25 0.004 80 Sampang 0.17 -0.004 81 Pamekasan 0.25 -0.014 82 Sumenep 0.19 0.002
Gambar 3-3. Profil Rataan NDVI Selama Bulan Maret 2002
di Pulau Jawa
3.4. Perkiraan Luas Panen Padi
Sawah
Perkiraan luas panen padi sawah pada
kuartal pertama (Januari – April) tahun
2002 dapat diketahui dengan menggunakan data lima harian akhir Bulan Desember
atau awal bulan Januari 2002 menggunakan data NOAA AVHRR atau menggunakan Data
Landsat TM. Angka Ramalan Panen
sebelumnya telah dihasilkan dengan menggunakan data Landsat TM bulan Desember
2001 dan Januari 2002. Selanjutnya
untuk kegiatan pemantauan dapat digunakan data bulan Maret, karena pada umumnya
data-data di bulan Januari dan Pebruari memiliki liputan awan yang besar,
sehingga mempengaruhi nilai spektral obyek serta banyak lahan sawah yang
tertutup awan. Data Landsat TM bulan
Desember 2001 yang tersedia tidak dapat mencakup seluruh daerah di pulau Jawa
karena kendala liputan awan. Selain itu
bencana banjir yang terjadi pada bulan Januari dan Pebruari 2002 menyebabkan
banyak terjadi gagal panen untuk bulan Januari dan Pebruari pada daerah-daerah
sentra produksi di pulau Jawa yang terletak dekat pantai Utara. Atas dasar itu
untuk kegiatan pemantauan pada kuartal pertama tahun 2002 (pasca bencana
banjir), penggunaan data NOAA bulan Maret 2002 cukup relevan untuk mengisi
kekosongan data serta keberhasilan panen yang masih belum optimal dari Aram
Landsat TM.
Fase dan umur tanaman padi pada awal
bulan Maret 2002 disajikan pada
Gambar 2 Lampiran. Perkiraan luas panen pada kuartal Pertama dapat
dilihat pada Gambar 3 lampiran.
Perkiraan luas panen untuk setiap daerah disajikan secara detil pada
Tabel lampiran. Berdasarkan Tabel lampiran
menunjukkan bahwa daerah Garut, Sumedang, Wonosobo, Batang, Kulon Progo,
Pacitan, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Gresik, Sampang,
dan Sumenep memiliki luas panen kurang dari 15,000 Ha. Berkurangnya luas panen antara lain disebabkan
oleh keterlambatan tanam atau pola tanamnya bukan untuk padi, tetapi palawija,
rusak akibat banjir, serta liputan awan yang besar, sehingga data tidak dapat
diolah, misalnya daerah Batang (Jawa Tengah).
Pola tanam bukan padi ditandai dengan tidak adanya fase air. Sementara itu daerah dengan angka perkiraan
luas panen yang tinggi (lebih dari 70,000 Ha) umumnya adalah daerah sentra padi
yaitu Karawang, Subang, Indramayu, Cilacap, Grobogan, Kediri, dan Jember. Daerah
Wonosobo memiliki luas panen yang rendah karena persen liputan awannya besar (
> 50 %), sehingga tidak dapat diolah lebih lanjut dengan menggunakan data
inderaja untuk menghasilkan informasi luas panen padi.
No Daerah Panen (Ha) 1 Pandeglang 30,543.4 2 Lebak 24,401.5 3 Bogor 31,074.8 4 Sukabumi 33,033.7 5 Cianjur 36,480.7 6 Bandung 38,135.8 7 Garut 12,411.1 8 Tasikmalaya 33,464.5 9 Ciamis 35,373.4 10 Kuningan 31,584.3 11 Cirebon 44,932.9 12 Majalengka 32,509.0 13 Sumedang 14,021.8 14 Indramayu 115,709.2 15 Subang 74,167.0 16 Purwakarta 39,666.1 17 Karawang 94,584.0 18 Bekasi 57,891.1 19 Tangerang 65,354.7 20 Serang 52,903.3 21 Cilacap 79,378.4 22 Banyumas 37,086.1 23 Purbalingga 27,068.9 24 Banjarnegara 16,304.9 25 Kebumen 42,049.6 26 Purworejo 32,612.2 27 Wonosobo 4,742.5 28 Magelang 49,026.8 29 Boyolali 29,202.9 30 Klaten 44,633.1 31 Sukoharjo 35,085.5 32 Wonogiri 29,990.9 33 Karanganyar 33,136.3 34 Sragen 43,901.9 35 Grobogan 79,238.2 36 Blora 61,956.6 37 Rembang 23,497.1 38 Pati 48,734.9 39 Kudus 18,711.5 40 Jepara 17,678.7 41 Demak 66,635.5 Daerah : Kodya digabung dengan Kabupaten No Daerah Panen (Ha) 42 Semarang 20,693.8 43 Temanggung 20,607.5 44 Kendal 22,451.9 45 Batang 9,475.9 46 Pekalongan 22,785.8 47 Pemalang 35,797.7 48 Tegal 53,041.9 49 Brebes 33,294.6 50 Kulon Progo 9,019.3 51 Bantul 25,043.1 52 Gunung Kidul 17,085.6 53 Sleman 35,223.2 54 Pacitan 5,528.3 55 Ponorogo 52,937.2 56 Trenggalek 15,200.9 57 Tulungagung 40,458.5 58 Blitar 50,033.3 59 Kediri 75,233.5 60 Malang 68,554.9 61 Lumajang 43,748.5 62 Jember 109,468.6 63 Banyuwangi 64,332.5 64 Bondowoso 27,465.1 65 Situbondo 16,635.7 66 Probolinggo 6,579.7 67 Pasuruan 12,761.8 68 Sidoarjo 7,078.8 69 Mojokerto 9,575.8 70 Jombang 4,112.3 71 Nganjuk 34,022.8 72 Madiun 29,644.1 73 Magetan 30,082.4 74 Ngawi 39,938.5 75 Bojonegoro 55,289.8 76 Tuban 48,651.6 77 Lamongan 43,283.0 78 Gresik 8,869.8 79 Bangkalan 24,113.3 80 Sampang 4,815.5 81 Pamekasan 8,296.0 82 Sumenep 2,546.7
Tabel
3-4. Perkiraan Luas Panen Padi
(Januari-April) 2002 di P. Jawa
Gambar 3-4.
Perkiraan Luas Panen Padi di Pulau Jawa pada Kuartal Pertama (Januari –
April) Tahun 2002
3.5. Produktifitas dan Produksi
Padi Sawah
Produktifitas tanaman padi pada kuartal satu tahun 2002 ini sangat
bervariasi, yaitu berkisar antara 40.4 – 56.7 Kw/Ha di Jawa Barat; 30.6 – 56.6
Kw/Ha di Jawa Tengah, dan antara 35.7 – 55.3 Kw/Ha di Jawa Timur.
Produktifitas yang rendah ( < 41 Kw/Ha) terjadi di daerah : Demak,
Gresik, Lamongan, Majalengka, Sidoarjo, dan Semarang. Produktifitas yang tinggi
( > 55.1 Kw/Ha) terjadi di daerah Karawang, Sukabumi, Kuningan, Indramayu,
dan Ciamis (Jawa Barat). Daerah di Jawa
Tengah dengan Produktifitas padi yang tinggi adalah Tegal, Blora, Cilacap,
sedangkan di Jawa Timur meliputi Tuban.
Jika selama kuartal pertama tersebut lahan padi sawah ditanami palawija,
maka Produktifitas yang cukup tinggi juga akan terdeteksi, terutama pada saat
tanaman palawija tersebut berada pada fase vegetatif aktif.
Total produksi padi yang dapat dicapai di pulau Jawa pada Kuartal Pertama
Tahun 2002 diperkirakan sebesar 9,108,159.5 Ton, dengan perincian Jawa Barat dan Banten
sebesar 2,881,430.8 Ton, Jawa Tengah
sebesar 3,455,841.7 Ton, dan Jawa
Timur sebesar 2,770,887.0 Ton. Secara detil untuk tiap daerah dapat dilihat
pada tabel 3-5.
Tabel 3-5. Rataan Produktifitas
Aktual (Pva) dan Produksi Kering (Prk) Padi di Pulau Jawa untuk Semester Pertama (Januari – April) Tahun
2002
No Daerah Pva Kw/Ha Prk Ton 1 Pandeglang 47.9 92,528.8 2 Lebak 54.5 84,065.4 3 Bogor 48.1 94,414.7 4 Sukabumi 56.3 117,516.6 5 Cianjur 54.7 126,130.7 6 Bandung 47.6 114,760.4 7 Garut 48.9 38,333.6 8 Tasikmalaya 44.0 93,078.1 9 Ciamis 56.1 125,311.4 10 Kuningan 55.7 111,272.5 11 Cirebon 56.7 160,993.8 12 Majalengka 40.4 83,043.0 13 Sumedang 52.2 46,298.1 14 Indramayu 56.3 411,574.5 15 Subang 52.4 245,471.1 16 Purwakarta 50.1 125,572.8 17 Karawang 55.3 330,695.6 18 Bekasi 46.1 168,614.5 19 Tangerang 52.8 218,177.7 20 Serang 54.4 181,752.6 21 Cilacap 56.6 284,049.4 22 Banyumas 53.1 124,460.7 23 Purbalingga 53.5 91,541.5 24 Banjarnegara 53.1 54,694.9 25 Kebumen 49.9 132,711.4 26 Purworejo 56.5 116,441.1 27 Wonosobo 50.7 15,186.7 28 Magelang 47.4 146,803.0 29 Boyolali 52.0 95,885.8 30 Klaten 48.2 135,920.4 31 Sukoharjo 46.5 103,056.4 32 Wonogiri 47.7 90,449.5 33 Karanganyar 47.8 100,180.8 34 Sragen 46.9 130,146.6 35 Grobogan 51.0 255,230.7 36 Blora 55.3 216,456.4 37 Rembang 54.8 81,428.9 38 Pati 46.1
141,946.0 39 Kudus 41.7 49,322.6 40 Jepara 54.3 60,721.1 41 Demak 30.6 129,063.3 No Daerah Pva Kw/Ha Prk Ton 42 Semarang 40.6 53,122.0 43 Temanggung 47.4 61,742.1 44 Kendal 50.8 72,101.2 45 Batang 53.0 31,765.6 46 Pekalongan 55.8 80,311.7 47 Pemalang 53.0 119,967.9 48 Tegal 55.2 184,985.4 49 Brebes 53.7 112,969.8 50 Kulon Progo 55.9 31,872.9 51 Bantul 55.3 87,492.5 52 Gunung Kidul 55.1 59,534.5 53 Sleman 54.6 121,463.6 54 Pacitan 48.4 16,912.3 55 Ponorogo 47.7 159,740.8 56 Trenggalek 48.3 46,449.7 57 Tulungagung 48.6 124,168.3 58 Blitar 48.1 152,194.6 59 Kediri 47.7 226,896.5 60 Malang 47.8 206,922.8 61 Lumajang 48.6 134,345.0 62 Jember 47.4 328,133.7 63 Banyuwangi 48.1 195,525.9 64 Bondowoso 47.2 81,944.3 65 Situbondo 49.5 52,039.0 66 Probolinggo 48.9 20,334.2 67 Pasuruan 43.5 35,085.0 68 Sidoarjo 40.6 18,169.7 69 Mojokerto 54.8 33,194.0 70 Jombang 47.4 12,310.5 71 Nganjuk 45.1 96,963.6 72 Madiun 41.6 77,892.0 73 Magetan 48.3 91,765.7 74 Ngawi 47.0 118,565.7 75 Bojonegoro 48.4 169,276.3 76 Tuban 55.3 170,021.8 77 Lamongan 38.9 106,388.8 78 Gresik 35.7 20,033.8 79 Bangkalan 49.5 75,379.2 80 Sampang 51.8 15,779.5 81 Pamekasan 51.6 27,061.2 82 Sumenep 49.2 7,911.6
Gambar
3-5. Produktifitas Aktual (Prv) dan
Perkiraan Produksi Kering (Prod) Padi di
Pulau Jawa Pada Kuartal Pertama
(Januari – April) Tahun 2002
3.6. Kondisi Cadangan Air di
Beberapa Waduk
Cadangan air di beberapa Waduk di pulau
Jawa selama musim penghujan tidak begitu mengalami masalah. Tetapi yang perlu dipantau adalah kemampuan
waduk-waduk tersebut dalam menampung curah hujan yang besar sebagai salah satu
indikator terjadinya banjir.
3.7. Potensi
Daerah Rawan Pangan
Hasil analisis tingkat Rawan Pangan
untuk setiap daerah di pulau Jawa pada kuartal pertama tahun 2002 dapat dilihat
pada Tabel 3-6. Berdasrkan Tabel tersebut menunjukkan bahwa
wilayah Jawa Barat akan mengalami kondisi yang Rawan adalah daerah Bogor, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Majalengka,
dan Sumedang. Daerah Bandung (Kabupaten
dan Kodya) dan Bogor pada kenyataannya dapat menjadi Tidak Rawan karena
teratasi dengan daya beli masyarakat dan aksesibilitas yang tinggi untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Daerah Tasikmalaya dan Sumedang termasuk daerah
Rawan Pangan yang disebabkan oleh luas sawah dan panen padi di daerah yang
bersangkutan tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan. Keadaan tersebut disebabkan oleh jumlah penduduknya yang besar,
tetapi memiliki daya beli yang cukup tinggi dan adanya pasokan dari daerah lain
sehingga pada kenyataannya dapat menjadi tidak rawan atau agak rawan. Sedangkan daerah yang mengalami kondisi agak
rawan yaitu Sukabumi dan Tangerang.
Di Jawa Tengah hanya dua daerah yang
terindikasikan akan mengalami Rawan Pangan, yaitu Wonosobo dan Semarang. Daerah Semarang kemungkinan dapat mengatasi
masalah kekurangan pangan karena daya beli masyarakat yang cukup tinggi untuk
pengadaan pangan beras. Sedangkan di Jawa Timur menunjukkan daerah yang akan mengalami
Rawan Pangan yaitu : daerah Probolinggo, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto,
Jombang, Sampang, dan Sumenep (Madura).
Namun daerah Gresik dan Sidoarjo dapat menjadi tidak rawan karena
merupakan daerah industri dengan daya beli masyarakat yang relatif tinggi dan
adanya pasokan beras dari daerah lain. Sementara untuk daerah Jombang,
Probolinggo, Sampang, dan Sumenep kondisi rawan pangan diperkuat oleh kehijauan
lahan yang cenderung makin rendah.
Daerah dengan kondisi Agak Rawan di Jawa Timur hanya dialami
di daerah Malang. Daerah Pacitan dan
Sampang terlihat juga memiliki tingkat kehijauan lahan yang makin rendah
sehingga kondisinya berpotensi menjadi rawan bila tidak diantisipasi. Sementara itu, di daerah Mojokerto dan
Pasuruan produksi padi yang rendah dapat disebabkan oleh adanya penanaman
palawija seperti yang terlihat dari kehijauan lahannya, sehingga kondisi agak
rawan dapat berubah menjadi tidak rawan karena adanya produksi bahan pangan
alternatif. Daerah agak rawan pangan
di Jawa Tengah meliputi daerah Brebes,
Wonosobo, Jepara dan Kulon Progo (Yogyakarta).
Terjadinya kondisi tersebut disebabkan oleh rendahnya luas panen,
terlambatnya tanam atau pada lahan padi ditanami tanaman lain selain padi,
seperti palawija. Selain itu hal
tersebut memang karena jumlah kebutuhan pangan yang besar akibat dari jumlah
penduduknya yang besar pula. Oleh
karena itu daerah-daerah tingkat II (Kabupaten dan Kodya) yang tidak memiliki
sumber pangan alternatif lain, kurangnya pasokan bahan pangan dari luar daerah,
serta daya beli masyarakatnya yang kurang, maka kondisi potensi Rawan Pangan
harus diperhatikan dengan serius oleh Pemerintah Daerah setempat agar segera
dapat diantisipasi.
KESIMPULAN
Informasi tentang daerah yang
berpotensi Rawan Pangan yang dianalisis dari data inderaja Satelit dan SIG
(Sistem Informasi geografi) berdasarkan rasio antara produksi dan kebutuhan
beras. Produksi beras diduga dari
produktifitas dan luas panen padi sawah dari data inderaja. Dengan tanpa menggunakan faktor daya beli
masyarakat dan aksesibilitas daerah, maka untuk periode kuartal pertama
(Januari – April) tahun 2002, maka dihasilkan informasi sebagai berikut :
1. Kondisi potensi Agak Rawan Pangan di Jawa Barat akan dialami di daerah : Sukabumi dan
Tangerang, sedangkan di Jawa Timur terjadi di daerah Malang.
2. Kondisi potensi Rawan Pangan di Jawa Barat akan dialami
di daerah : Bogor, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Majalengka, dan Sumedang. Di Jawa Tengah akan dilami di daerah :
Wonosobo dan Semarang, sedangkan di Jawa Timur akan dialami di daerah Gresik,
Sidoarjo, Jombang, Probolinggo,
Pasuruan, Mojokerto, Sampang dan Sumenep
Tabel 3-6.
Rasio Produksi-Kebutuhan Pangan (RPK) dan Kelas Kerawanan Pangan di
Pulau Jawa pada kuartal Pertama (Januari – April 2002)
No Daerah RPK % Kelas 1 Pandeglang 71 Tidak Rawan 2 Lebak 40 Tidak Rawan 3 Bogor -60 Rawan 4 Sukabumi -4 Agak Rawan 5 Cianjur 24 Tidak Rawan 6 Bandung -56 Rawan 7 Garut -61 Rawan 8 Tasikmalaya -8 Agak Rawan 9 Ciamis 42 Tidak Rawan 10 Kuningan 169 Tidak Rawan 11 Cirebon 72 Tidak Rawan 12 Majalengka 43 Tidak Rawan 13 Sumedang -4 Agak Rawan 14 Indramayu 346 Tidak Rawan 15 Subang 188 Tidak Rawan 16 Purwakarta 292 Tidak Rawan 17 Karawang 225 Tidak Rawan 18 Bekasi 66 Tidak Rawan 19 Tangerang 1 Agak Rawan 20 Serang 97 Tidak Rawan 21 Cilacap 268 Tidak Rawan 22 Banyumas 108 Tidak Rawan 23 Purbalingga 218 Tidak Rawan 24 Banjarnegara 200 Tidak Rawan 25 Kebumen 165 Tidak Rawan 26 Purworejo 299 Tidak Rawan 27 Wonosobo -28 Rawan 28 Magelang 269 Tidak Rawan 29 Boyolali 245 Tidak Rawan 30 Klaten 204 Tidak Rawan 31 Sukoharjo 97 Tidak Rawan 32 Wonogiri 261 Tidak Rawan 33 Karanganyar 187 Tidak Rawan 34 Sragen 226 Tidak Rawan 35 Grobogan 5818 Tidak Rawan 36 Blora 745 Tidak Rawan 37 Rembang 351 Tidak Rawan 38 Pati 188 Tidak Rawan 39 Kudus 80 Tidak Rawan 40 Jepara 52 Tidak Rawan 41 Demak 170 Tidak Rawan No Daerah RPK % Kelas 42 Semarang -36.1 Rawan 43 Temanggung 211.2 Tidak Rawan 44 Kendal 107.7 Tidak Rawan 45 Batang 30.8 Tidak Rawan 46 Pekalongan 79.8 Tidak Rawan 47 Pemalang 123.6 Tidak Rawan 48 Tegal 156.8 Tidak Rawan 49 Brebes 46.0 Tidak Rawan 50 Kulon Progo 136.4 Tidak Rawan 51 Bantul 225.5 Tidak Rawan 52 Gunung Kidul 280.3 Tidak Rawan 53 Sleman 275.9 Tidak Rawan 54 Pacitan 24.1 Tidak Rawan 55 Ponorogo 537.2 Tidak Rawan 56 Trenggalek 118.6 Tidak Rawan 57 Tulungagung 267.7 Tidak Rawan 58 Blitar 292.2 Tidak Rawan 59 Kediri 294.9 Tidak Rawan 60 Malang -8.1 Agak Rawan 61 Lumajang 259.5 Tidak Rawan 62 Jember 274.3 Tidak Rawan 63 Banyuwangi 176.4 Tidak Rawan 64 Bondowoso 157.6 Tidak Rawan 65 Situbondo 98.0 Tidak Rawan 66 Probolinggo -58.0 Rawan 67 Pasuruan -27.8 Rawan 68 Sidoarjo -70.7 Rawan 69 Mojokerto -8.8 Agak Rawan 70 Jombang -69.4 Rawan 71 Nganjuk 139.1 Tidak Rawan 72 Madiun 137.8 Tidak Rawan 73 Magetan 298.5 Tidak Rawan 74 Ngawi 213.6 Tidak Rawan 75 Bojonegoro 281.5 Tidak Rawan 76 Tuban 627.3 Tidak Rawan 77 Lamongan 76.7 Tidak Rawan 78 Gresik -85.5 Rawan 79 Bangkalan 168.3 Tidak Rawan 80 Sampang -11.4 Rawan 81 Pamekasan 28.8 Tidak Rawan 82 Sumenep -69.6 Rawan
DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, E.S, Evri, M. dan Santosa, I., 1994, “Estimasi produksi pada
sawah dengan data iklim dan data satelit multitemporal”, Majalah LAPAN, No. 70,
pp. 16-28.
Erfan, D., 1999, Pendugaan tingkat produktifitas tanaman padi dan palawija
dengan VSM dan neraca tanaman air, Skripsi Sarjana, Jurusan GM, FMIPA-IPB,
Bogor.
Dirgahayu, D., 1999, “Aplikasi model pendugaan umur padi untuk peramalan
luas panen padi di Pulau Jawa”, Majalah LAPAN (edisi Penginderaan Jauh), No. 2,
Vol.2.
Johnson G.E., A. van Dijk dan C.M. Sakamoto, 1987, “The use of AVHRR data
in operational agricultural assessment in Africa”, Geocarto Int. J., Vol. 1,
41-60.
Kushardono, D., 1991, “Pemanfaatan data satelit NOAA AVHRR untuk pendugaan
produksi tanaman padi (Oryza Sativa sp)
pada regional Jawa Barat”, Kumpulan Makalah PUSFATJA LAPAN Tahun 1990/1991, No.
D-I/01-1991, pp. 241-268.
Kushardono, D., Hidayat, A., Adiningsih, E.S., 1999, “ Analisis perubahan
cuaca pada Areal persawahan di Pulau Jawa dan pengaruhnya terhadap
produktifitas padi”, Makalah Pekan Kaji dan Uji Hasil Litbang Pusfatja-LAPAN
1998/1999.
Kobayashi K., 1996, “Very Simple Model”, In: ICSEA-GCTE 1996: Modelling the
impact of Global Change on Rice and Crop Production in Southeast Asia,
ICSEA-GCTE, Bogor.
Kustiyo, Arief, H., Adiningsih, E.S., 1999, “Model Prediksi anomali OLR dan
curah hujan di atas wilayah tropik dari anomali suhu permukaan laut Pasifik
Tropik selama ENSO”, Majalah LAPAN, No. 1, Vol. 1, pp. 31-36.
Maselli F., Conese C., Petkov L. and Gilbert M.A., 1993, “Environmental
monitoring and crop forecasting in Sahel through the use of NOAA NDVI data; A
case study: Niger 1986-89”, Int. J. Remote Sensing, vol. 14, No. 18, 3471-3488.
Quarmby N.A., Milnes M., Hindle T.L. and Silleos N., 1993, “The use of
multitemporal NDVI measurements from AVHRR data for crop yield estimation and
prediction”, Int. J. of Remote Sensing, Vol. 14, No. 2, 199-210.
Sadik, K. 1994, Sistem Pakar untuk menganalisis keamanan pangan masa
sekarang dan jangka pendek, Skripsi Jurusan Statistika, IPB, Bogor.
Taylor, 1991. Assessing Household Food Sensity, A Framework and
Questionaire, Center for Food Sensitivity, Univ. of Guelph, Canada.
Taylor, D.S. and Philips, T., 1992, Summary at the Food Sensity Analysis
using the phase II Questionaire, The Center for Food Sensitivity, Univ. of
Guelph, Canada.
L A M P I R A N
Gambar 1. Tingkat Kehijauan
(NDVI) Lahan Padi di P. Jawa Lima Harian Pertama Bulan Maret 2002