PEMANTAUAN DAERAH RAWAN PANGAN DI PULAU JAWA

UNTUK/DAN ALARM BENCANA ALAM

PADA KUARTAL PERTAMA (JANUARI-APRIL) TAHUN 2002

 

oleh

Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh – LAPAN

 

RINGKASAN EKSEKUTIF

Informasi tentang ketersediaan pangan di suatu daerah sangat penting kaitannya dengan kecukupan pangan, rawan pangan dan masalah sosial lainnya. Dalam rangka membantu pemerintah dalam menentukan kebijakan pengadaan pangan di Indonesia agar tidak terjadi kerawanan pangan, perlu adanya masukan tentang perkiraan produksi pangan khususnya beras karena sampai saat ini beras masih menjadi komoditi pangan utama di Indonesia.

 Kajian ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang Potensi Daerah Rawan Pangan khususnya padi berbasis data inderaja satelit dan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan metode yang dikembangkan dari hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan selama beberapa tahun terakhir.  Kajian difokuskan terhadap Pulau Jawa mengingat bahwa sampai saat ini Pulau Jawa masih menjadi salah satu sentra produksi padi yang penting di Indonesia.  Perkiraan Potensi Daerah Rawan Pangan secara sederhana didasarkan pada Rasio Produksi dan Kebutuhan beras di suatu daerah. Analisis dilakukan terhadap daerah di Pulau Jawa pada Kuartal pertama (Januari – April) tahun 2002.  Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi pemerintah di tingkat pusat maupun daerah untuk mengantisipasi keadaan rawan pangan sedini mungkin dan mengambil tindakan yang berkaitan dengan pengadaan pangan.

Berdasarkan data inderaja diperoleh luas panen padi sawah yang agak rendah (kurang dari 15,000 Ha) pada kuartal pertama (Januari – April) tahun 2002 terjadi di pulau Jawa yang meliputi daerah Garut, Sumedang, Wonosobo, Batang, Kulon Progo, Pacitan, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Gresik, Sampang, dan Sumenep.  Sementara itu daerah dengan angka perkiraan luas panen yang tinggi (lebih dari 70,000 Ha) umumnya adalah daerah sentra padi yaitu Karawang, Subang, Indramayu, Cilacap, Grobogan, Kediri, dan Jember.

Tingkat kehijauan lahan di Pulau Jawa selama bulan Maret 2002  umumnya cenderung menurun.  Kondisi yang demikian terjadi di daerah-daerah sentra padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sebagian daerah sentra padi di Jawa Timur.  Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan padi yang umumnya memasuki fase generatif atau menjelang panen.  Sementara itu untuk daerah-daerah yang bukan sentra padi, kehijauan lahan yang rendah dapat disebabkan oleh kondisi lahan yang makin kering atau karena ditanami oleh jenis tanaman lainnya seperti palawija.

Produktifitas tanaman padi di Pulau Jawa pada Kuartal Pertama 2002 bervariasi besar, yaitu berkisar antara 40.4 – 56.7 Kw/Ha (4.04 – 5.67 Ton/Ha) di Jawa Barat; 30.6 – 56.6 Kw/Ha di Jawa Tengah, dan antara 35.7 – 55.3 Kw/Ha di Jawa Timur. Total produksi padi yang dapat dicapai di pulau Jawa pada Kuartal Pertama Tahun 2002 diperkirakan sebesar 9,108,159.5 Ton, dengan perincian Jawa Barat dan Banten sebesar 2,881,430.8 Ton, Jawa Tengah sebesar 3,455,841.7 Ton, dan Jawa Timur sebesar 2,770,887.0 Ton.

Daerah yang berpotensi akan mengalami kondisi Rawan Pangan di Propinsi Jawa Barat adalah daerah Bogor, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Majalengka, dan Sumedang.  Sedangkan daerah yang akan mengalami kondisi Agak Rawan yaitu daerah Sukabumi dan Tangerang (Propinsi Banten).  

            Di Propinsi Jawa Tengah daerah yang terindikasikan akan mengalami Rawan Pangan, yaitu daerah Wonosobo dan Semarang.  Sedangkan kondisi Agak Rawan tidak akan dialami.

Di Propinsi Jawa Timur menunjukkan daerah yang akan mengalami Rawan Pangan yaitu : daerah Probolinggo, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Sampang, dan Sumenep. Sedangkan, daerah dengan kondisi Agak Rawan di Jawa Timur akan dialami di daerah Malang.

Daerah-daerah tersebut dapat menjadi daerah tidak rawan, jika faktor daya beli masyarakat terhadap pangan cukup tinggi serta aksesibilitas yang tinggi.

Daerah-daerah yang tidak memiliki sumber pangan alternatif lain, kurangnya pasokan bahan pangan dari luar daerah, serta daya beli masyarakatnya yang kurang, maka kondisi potensi Rawan Pangan harus diperhatikan dengan serius oleh Pemerintah Daerah setempat agar segera dapat diantisipasi.  


PEMANTAUAN DAERAH RAWAN PANGAN DI PULAU JAWA

UNTUK/DAN ALARM BENCANA ALAM

PADA KUARTAL PERTAMA (JANUARI-APRIL) TAHUN 2002

 

 

ABSTRAK

Kegiatan ini dilakukan untuk memberikan informasi tentang Potensi Rawan Pangan di Pulau Jawa berbasis data inderaja satelit dan Sistem Informasi Geografis.  Perkiraan Potensi Rawan Pangan tersebut berdasarkan Rasio Produksi-Kebutuhan beras. Informasi produksi pangan dapat diketahui berdasarkan data produktifitas dan luas panen tanaman padi dari data inderaja, sedangkan informasi kebutuhan pangan diperoleh berdasarkan data proyeksi jumlah penduduk tahun 2001 dan laju pertumbuhan penduduk serta konsumsi pangan per kapita tahun 1998 dan 1999 dari BPS.  Berdasarkan hasil analisis untuk kuartal pertama tahun 2002 (Januari - April),  di Pulau Jawa menunjukkan bahwa beberapa daerah mengalami Rawan Pangan, yaitu Bogor, Garut, Majalengka, dan Sumedang di Jawa Barat serta Wonosobo dan Semarang di Jawa Tengah serta Gresik, Sidoarjo, Jombang, Probolinggo, Pasuruan, Sampang dan Sumenep di Jawa Timur. Daerah dengan kondisi Agak Rawan terjadi di Sukabumi, Tangerang, Tasikmalaya, Malang, dan Mojokerto. Meskipun demikian pada kenyataannya kondisi rawan pangan atau agak rawan tersebut dapat berubah menjadi tidak rawan apabila terdapat produksi bahan pangan alternatif, daya beli masyarakat yang tinggi, dan pasokan beras dari daerah lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

I.     PENDAHULUAN

Kerawanan pangan di suatu daerah perlu dideteksi sedini mungkin untuk mengantisipasi dampaknya seperti  terjadinya gizi buruk dan masalah sosial lainnya. Kerawanan pangan antara lain diakibatkan oleh rendahnya produksi pangan dan stok pangan sehingga tidak mencukupi kebutuhan pangan khususnya makanan pokok beras. Berdasarkan hasil survei lapang, kerawanan pangan juga diakibatkan oleh rendahnya daya beli masyarakat untuk kebutuhan pangan yang harganya semakin meningkat karena krisis moneter. Untuk membantu pemerintah dalam menentukan kebijaksanaan import beras guna memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia agar tidak terjadi kerawanan pangan, perlu adanya masukan tentang perkiraan produksi pangan khususnya beras karena sampai saat ini beras masih menjadi komoditi pangan utama di Indonesia.

Perkiraan produksi padi umumnya masih dilakukan dengan cara konvensional yaitu melalui survei lapangan. Cara konvensional ini membutuhkan biaya tinggi dan waktu yang lama, apabila dibandingkan dengan teknologi penginderaan jauh. Survei kondisi lahan dengan mempergunakan teknologi satelit penginderaan jauh selain waktu perolehan informasinya cepat dan murah, juga cakupan wilayah surveinya luas dan informasinya dapat diperoleh lebih berkesinambungan.

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan, bahwa teknologi penginderaan jauh dapat digunakan untuk memberikan informasi secara dini tentang perkiraan luas panen dan tingkat produktifitas padi. Selanjutnya dengan menerapkan sistem informasi geografis (SIG), informasi tersebut dapat diintegrasikan ke dalam model deteksi rawan pangan.  Tingkat rawan pangan ditentukan dari beberapa faktor, baik fisik maupun non fisik (sosek).  Secara fisik tingkat rawan pangan ditentukan oleh faktor keberhasilan luas panen dan tingkat produktifitas tanaman pangan yang  dipengaruhi oleh faktor iklim, sedangkan secara sosial ekonomi antara lain dipengaruhi oleh jumlah dan laju pertambahan penduduk, tingkat konsumsi, daya beli masyarakat, aksesibilitas dan distribusi bahan pangan.   Namun demikian untuk tujuan memberikan informasi secara cepat tentang daerah rawan produksi pangan, maka dapat diterapkan pendekatan yang lebih sederhana yaitu hanya dengan menganalisis keseimbangan antara suplai (produksi) dengan kebutuhan (konsumsi) pangan. Pendekatan ini digunakan sebagai asumsi atau batasan dalam penentuan Potensi Rawan Pangan.

Tujuan kegiatan adalah untuk memberikan informasi tentang Potensi Daerah Rawan Pangan di Pulau Jawa berbasis data inderaja satelit dan SIG.  Hal ini mengingat bahwa Pulau Jawa masih menjadi salah satu sentra produksi padi yang penting di Indonesia.  Perkiraan Potensi Daerah Rawan Pangan tersebut berdasarkan Rasio Produksi-Kebutuhan beras. Analisis dilakukan terhadap daerah di Pulau Jawa pada kuartal pertama (Januari – April) tahun 2002, terutama kondisi pada bulan Maret dan April.  Terjadinya banjir di beberapa daerah pada bulan Januari dan Pebruari akibat hujan yang lebat dan beruntun menyebabkan terjadinya kegagalan panen pada kedua bulan tersebut.  Hasil kajian diharapkan bermanfaat bagi pemerintah di tingkat pusat maupun daerah untuk mengantisipasi keadaan rawan pangan sedini mungkin dan mengambil tindakan yang berkaitan dengan pengadaan pangan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

II. METODOLOGI

2.1.  Data      

            Data yang dibutuhkan untuk perhitungan kondisi rawan pangan adalah sebagai berikut :

1.      Data Penginderaan Jauh :    

Data penginderaan jauh yang digunakan terdiri dari :

-         Data OLR (Outgoing Longwave Radiation) yang dapat diekstraksi dari data NOAA AVHRR atau GMS harian untuk menghasilkan informasi curah hujan bulanan

-         Data satelit GMS untuk menghasilkan informasi liputan dan pergerakan awan

-         Data satelit NOAA AVHRR untuk menghasilkan informasi rataan liputan awan, dan tingkat kehijauan tanaman (Indeks Vegetasi)

-         Data satelit Landsat TM untuk menghasilkan informasi kondisi aktual lahan pertanian padi sawah.

Berdasarkan data tersebut dapat dihasilkan informasi luas panen dan tingkat produktifitas tanaman padi secara spasial.  Selanjutnya, dapat diperoleh informasi produksi beras.  Selain itu data penginderaan jauh juga digunakan untuk melihat kondisi kehijauan lahan dan pertumbuhan tanaman padi.

2.      Data Sosial Ekonomi :

Data sosial ekonomi diperoleh dari Biro Pusat Statistik dan hasil survei lapang pada tahun 1998 dan 1999 yang meliputi :           

-          Data kependudukan tiap Dati II di Pulau Jawa,

-          Data konsumsi pangan per kapita tiap Dati II di Pulau Jawa.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.2. Pengolahan Data

            Pengolahan data meliputi perhitungan produktifitas padi, luas panen padi, produksi beras, dan tingkat kerawanan pangan.   Secara ringkas metode yang diterapkan disajikan pada Gambar 2-1.  Semua perhitungan dilakukan terhadap basis data batas administrasi daerah tingkat II (Kabupaten dan Kodya) di pulau Jawa yang dapat dilihat pada Gambar 2-2.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 2. 1. Metode Analisis Rawan Pangan Berbasis Data Inderaja dan SIG

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.2.1.  Perhitungan Produktifitas Padi

Langkah-langkah pengolahan data satelit untuk memperoleh nilai produktifitas padi adalah sebagai berikut:

a)     Pemotongan (Cropping) data NOAA AVHRR untuk lokasi Pulau Jawa

b)     Pendugaan dan prediksi besarnya curah hujan bulanan dengan menggunakan data OLR dengan formula : 

CH = -0.024*OLR2 + 7.227*OLR – 242.8

          CH   : Jumlah Curah Hujan bulanan (mm) ;

OLR : Radiasi Balik Gelombang Panjang (Watt/m2)

c)      Perhitungan liputan awan harian pada areal persawahan untuk tiap daerah Tingkat II dari data GMS atau NOAA AVHRR.

d)     Perhitungan radiasi yang diterima tanaman (Rn) dengan menggunakan persamaan :

Rn = 34.4 – 9.31*C + 4.21*C2  

Rn : Rataan Radiasi Netto Gelombang Pendek (MJ/m2/hari)

C   : Rataan Prosentase Awan Harian (dalam desimal)

e)     Transformasi citra Indeks Vegetasi (NDVI) dari data NOAA atau Landsat TM dengan formula :  

NDVI = 100 + 100*(B2 – B1)/(B1 + B2 )

B1 :  Kanal Merah atau Visible.  Kanal 1 NOAA atau kanal 3 Landsat TM

B2 :  Kanal Infra Merah Dekat.  Kanal 2 NOAA atau kanal 4 Landsat TM

Untuk mereduksi pengaruh kondisi cuaca terhadap nilai spektral NDVI, maka dilakukan teknik overlay Maksimum terhadap data harian NDVI, sehingga diperoleh NDVI Lima Harian atau Mingguan.

Untuk menegtahui kondisi tingkat kehijauan tanaman padi pada suatu daerah (kabupaten), maka dilakukan ekstraksi nilai statistik NDVI secara spasial pada lahan padi sawah saja pada setiap batas.  Nilai statistik spasial NDVI yang diekstrak adalah nilai Median, karena merupakan representasi dari nilai dominan (Modus)  dan rata-rata (Mean).

f)          Perhitungan produktifitas potensial padi (Y) dengan model VSM (Very Simple Model) yang diadopsi dari Kobayashi (1996) yang telah divalidasi (parameter Rn) :

Y = HI 0.85 [1-exp(-0.55 k Lf)] Rn T e C

HI = Harvest index, k = koefisien pemadaman, Lf  = indeks luas daun (leaf area index - LAI) maksimum saat pembungaan,T = lama/umur tanaman padi, e = efisiensi penggunaan radiasi oleh tanaman padi, C = faktor koreksi

g)        Produktifitas potensial padi (Y) dari VSM yang mendasarkan pada pengaruh cuaca dikoreksi berdasarkan kondisi fisik tanaman padi melalui produktifitas padi yang didasarkan pada indek vegetasi tanaman padi sehingga diperoleh produktifitas aktual padi (Y’) :   Y’ = Y x Pt

Di mana Pt adalah rataan tingkat pencapaian potensial produktifitas padi berdasarkan indek vegetasi tanaman dan tingkat ketersediaan air (KA) dari data curah hujan OLR.   Pt = (IVr / IVm + KA)/2

IVr    : nilai NDVI maksimum selama pertumbuhan vegetatif,

Ivm : nilai NDVI maksimum yang dapat dicapai selama pertumbuhan vegetatif tanaman padi secara optimal dengan menggunakan data NOAA (asumsi NDVI maksimum tanaman padi pada fase puncak vegetatif dalam keadaan pertumbuhan yang baik adalah sebesar 0.40).  Prosentase nilai KA ditentukan berdasarkan pengaruh ketersediaan air terhadap keberhasilan produksi.  Tingkat penurunan produktifitas tanaman padi berdasarkan tingkat ketersediaan air diasumsikan sebagai berikut :

a.      Penurunan 4 %, jika ketersedian air  > 1000 mm

b.      Penurunan 24 %, jika ketersedian air berkisar antara : 400 – 800 mm

c.      Penurunan 36 %, jika ketersedian air : < 400 mm

2.2.2.  Pemantauan Kondisi Pertumbuhan Tanaman Padi

            Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi selama pertumbuhan (fase vegetatif) dan perkembangan (fase generatif) tanaman serta kondisi lainnya seperti fase air dan bera dapat dipantau melalui tingkat kehijauan tanaman.  Tingkat kehijauan tanaman tersebut ditunjukkan oleh data NDVI multi temporal lima harian atau mingguan pada lahan padi setiap daerah. 

            Fase vegetatif diindikasikan jika perubahan NDVI bernilai positif antara dua waktu yang berbeda ( NDVI[t2] – NDVI[t1] ), sedangkan fase generatif adalah keadaan sebaliknya (perubahan negatif).  Untuk suatu seri data, misalnya data lima harian dalam selang waktu (t) 1 – 1.5 bulan (6 – 9 buah data), maka dapat ditentukan trend atau kecenderungan perubahan NDVI berdasarkan nilai Slope NDVI (SNDVI), yaitu dengan formula :  SNDVI  = CoVar(NDVI_t)/Var(t)

2.2.3.  Peramalan dan Pendugaan Luas Panen

Informasi Luas Panen Tanaman Padi dapat diperoleh berdasarkan pendugaan umur tanaman padi menggunakan data Landsat TM maupun NOAA AVHRR.  Berdasarkan model yang telah dihasilkan dalam penelitian sebelumnya, maka dapat dibuat tabulasi yang menghubungkan kisaran nilai NDVI dengan umur tanaman padi dalam lima harian atau mingguan. Sementara itu citra Landsat TM diolah untuk menampilkan kondisi pertumbuhan tanaman padi di beberapa daerah sentra padi di Pulau Jawa.

2.2.4.  Perhitungan Produksi dan Kebutuhan Beras

a)   Produksi Padi Gabah Kering Panen (GKP) diperoleh dengan mengalikan Produktifitas (Y’) dengan Luas Panen padi.  Untuk memperoleh produksi beras (GKG), maka diperlukan faktor konversi, yaitu sebesar 63.2 %. 

b)    Untuk mengetahui kebutuhan beras digunakan data jumlah penduduk per wilayah administratif (kabupaten) tahun 2001 dari hasil proyeksi berdasarkan jumlah penduduk tahun 1999 dengan rataan laju pertambahan  penduduk/tahun untuk setiap daerah serta rataan konsumsi beras setiap  orang/4 bulan.

c)    Semua hasil perhitungan tersebut di atas dimasukkan dalam Tabel dengan kode yang sesuai dengan nomor id kabupaten yang ada di Pulau Jawa pada basis data kabupaten.  Selanjutnya penyebaran spasial informasi tersebut dapat ditampilkan dengan menggunakan perangkat lunak ArcView.      

 

 

 

 

 

 

 

 

 

2.3.  Metode Analisis Daerah Rawan Pangan            

            Metode yang digunakan untuk analisis Tingkat Rawan Pangan pada kajian ini adalah berdasarkan faktor fisik dan sosial ekonomi seperti pada Gambar 2-1. Selain itu dalam memprediksi produksi makanan tersebut dimasukkan pula faktor resiko gagal panen (kekeringan atau ketersediaan air, dan hama penyakit). Analisis rawan pangan untuk tiap kabupaten/kodya hanya memperhitungkan dari produksi beras dan kebutuhan beras.  Secara lebih lengkap penentuan Daerah Rawan Pangan sebenarnya tidak hanya berdasarkan pada keseimbangan antara produksi beras dengan kebutuhan beras di suatu daerah, tetapi secara kualitatif maupun kuantitatif dianalisis pula dari potensi produksi bahan pangan lainnya seperti palawija, yaitu dengan melakukan konversi kalori yang terkandung dalam hasil produksi palawija. Sementara itu faktor sosial ekonomi lainnya seperti daya beli masyarakat, aksesibilitas, ketersediaan stok pangan, dan distribusinya tidak dimasukkan ke dalam perhitungan karena informasi tersebut belum tersedia dalam basis data.

            Penentuan tingkat Rawan Pangan pada level 1 adalah hanya berdasarkan Ketersediaan Pangan, yaitu berdasarkan produksi dan kebutuhan pangan pada setiap daerah (faktor sosial ekonomi lainnya (s) = 0).  Kondisi Rawan Pangan dapat ditentukan berdasarkan Rasio Produksi-Kebutuhan Pangan (RPK), yaitu berdasarkan formula :

            RPK = 100 x [(1+s)*Produksi – Kebutuhan] / Kebutuhan

            Nilai RPK negatif menunjukkan daerah rawan atau agak rawan.  Kondisi Agak Rawan dapat ditentukan berdasarkan prosentase sebesar 10 % terhadap nilai 0.  Dengan demikian Kelas Tingkat Kerawanan Pangan (TKP) dapat dibuat menjadi tiga, yaitu :

a)     Kelas Rawan Pangan dengan nilai RPK < -10

b)     Kelas Agak Rawan Pangan dengan nilai RPK  -10 s/d 10

c)      Kelas Tidak Rawan Pangan dengan nilai RPK > 10


No

Daerah

1

Pandeglang

2

Lebak

3

Bogor

4

Sukabumi

5

Cianjur

6

Bandung

7

Garut

8

Tasikmalaya

9

Ciamis

10

Kuningan

11

Cirebon

12

Majalengka

13

Sumedang

14

Indramayu

15

Subang

16

Purwakarta

17

Karawang

18

Bekasi

19

Tangerang

20

Serang

 

 

No

Daerah

21

Cilacap

22

Banyumas

23

Purbalingga

24

Banjarnegara

25

Kebumen

26

Purworejo

27

Wonosobo

28

Magelang

29

Boyolali

30

Klaten

31

Sukoharjo

32

Wonogiri

33

Karanganyar

34

Sragen

35

Grobogan

36

Blora

37

Rembang

38

Pati

39

Kudus

40

Jepara

41

Demak

 

 

No

Daerah

42

Semarang

43

Temanggung

44

Kendal

45

Batang

46

Pekalongan

47

Pemalang

48

Tegal

49

Brebes

50

Kulon Progo

51

Bantul

52

Gunung Kidul

53

Sleman

54

Pacitan

55

Ponorogo

56

Trenggalek

57

Tulungagung

58

Blitar

59

Kediri

60

Malang

61

Lumajang

62

Jember

 

 

No

Daerah

63

Banyuwangi

64

Bondowoso

65

Situbondo

66

Probolinggo

67

Pasuruan

68

Sidoarjo

69

Mojokerto

70

Jombang

71

Nganjuk

72

Madiun

73

Magetan

74

Ngawi

75

Bojonegoro

76

Tuban

77

Lamongan

78

Gresik

79

Bangkalan

80

Sampang

81

Pamekasan

82

Sumenep

 

 
 

 

 



III.  HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1.   Kondisi Prosentase Awan Selama Bulan Maret – April 2002

Kondisi liputan awan di pulau Jawa selama bulan Maret hingga awal April 2002 sangat mempengaruhi potensi radiasi yang diterima oleh tanaman padi selama masa pertumbuhannya (vegetatif) pada periode pertama, terutama pasca bencana banjir bulan Januari-Pebruari 2002. Berdasarkan model untuk menghitung radiasi, maka suatu daerah akan memiliki radiasi (Rn) minimum sebesar 29.3 jika liputan awan 100 % dan akan memiliki Rn maksimun sebesar 34.4 jika rataan liputan awannya sebesar 0 %.  Berdasarkan perhitungan, maka rataan potensial radiasi yang diterima oleh tanaman padi untuk setiap daerah di pulau Jawa disajikan pada Tabel 3-1 serta Gambar 3-1. 

Tabel 3-1.  Rataan Prosentase Liputan Awan dan Radiasi Netto (Rn) di P. Jawa

No

Daerah

% Awan

Rn (MJ/m2/Hr)

1

Pandeglang

24

32.5

2

Lebak

28

32.2

3

Bogor

38

31.6

4

Sukabumi

14

33.3

5

Cianjur

13

33.3

6

Bandung

27

32.3

7

Garut

30

32.1

8

Tasikmalaya

13

33.3

9

Ciamis

15

33.1

10

Kuningan

18

32.9

11

Cirebon

11

33.5

12

Majalengka

20

32.8

13

Sumedang

21

32.7

14

Indramayu

14

33.3

15

Subang

19

32.8

16

Purwakarta

26

32.4

17

Karawang

15

33.2

18

Bekasi

27

32.3

19

Tangerang

29

32.1

20

Serang

29

32.1

21

Cilacap

11

33.5

22

Banyumas

27

32.3

23

Purbalingga

37

31.6

24

Banjarnegara

42

31.4

25

Kebumen

10

33.5

26

Purworejo

12

33.4

27

Wonosobo

52

30.8

28

Magelang

34

31.8

29

Boyolali

23

32.6

30

Klaten

26

32.4

31

Sukoharjo

27

32.3

32

Wonogiri

31

32.0

33

Karanganyar

29

32.1

34

Sragen

26

32.3

35

Grobogan

18

32.9

36

Blora

22

32.7

37

Rembang

25

32.4

38

Pati

27

32.3

39

Kudus

23

32.5

40

Jepara

23

32.6

41

Demak

19

32.8

 

 

No

Daerah

% Awan

Rn

(MJ/m2/Hr)

42

Semarang

23

32.6

43

Temanggung

37

31.6

44

Kendal

19

32.8

45

Batang

27

32.3

46

Pekalongan

18

32.9

47

Pemalang

27

32.3

48

Tegal

22

32.6

49

Brebes

36

31.7

50

Kulon Progo

17

33.0

51

Bantul

22

32.7

52

Gunung Kidul

23

32.6

53

Sleman

28

32.2

54

Pacitan

24

32.5

55

Ponorogo

30

32.1

56

Trenggalek

24

32.5

57

Tulungagung

22

32.6

58

Blitar

27

32.3

59

Kediri

31

32.0

60

Malang

30

32.1

61

Lumajang

22

32.6

62

Jember

34

31.8

63

Banyuwangi

27

32.3

64

Bondowoso

36

31.7

65

Situbondo

14

33.2

66

Probolinggo

19

32.8

67

Pasuruan

18

32.9

68

Sidoarjo

18

32.9

69

Mojokerto

25

32.4

70

Jombang

34

31.8

71

Nganjuk

26

32.4

72

Madiun

21

32.7

73

Magetan

25

32.4

74

Ngawi

26

32.4

75

Bojonegoro

27

32.3

76

Tuban

21

32.7

77

Lamongan

19

32.8

78

Gresik

19

32.8

79

Bangkalan

24

32.5

80

Sampang

24

32.5

81

Pamekasan

33

31.9

82

Sumenep

27

32.3

 

 
 

 

 

 

 


 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3-1. Rataan Prosentase Awan dan Radiasi Netto (Rn) Selama Bulan Maret–Dekade Pertama April 2002 di Pulau Jawa


3.2. Kondisi Curah Hujan pada Kuartal Pertama (Januari-April) Tahun 2002

            Jumlah air yang diterima tanaman dari curah hujan akan mempengaruhi besarnya produktifitas tanaman serta keberhasilan panen.  Tanaman padi rata-rata memerlukan air maksimum sebesar 200 mm/bulan, terutama pada fase vegetatif atau 800-1000 mm selama pertumbuhannya (4 bulan).  Jika jumlahnya kurang karena mengalami kekeringan, terutama pada fase vegetatif akan mengurangi produktifitas.  Jika jumlahnya berlebihan, baik pada fase vegetatif atau generatif akan beresiko banjir atau genangan, sehingga dapat menghambat pertumbuhan (fotosintesa terganggu) atau terjadi gagal panen.

            Besarnya curah hujan bulanan dapat diduga dan diramal dengan menggunakan parameter radiasi balik gelombang panjang (OLR).  Fluktuasi curah hujan dan jumlah kumulatifnya di pulau Jawa selama Kuartal Pertama tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel 3-2 dan Gambar 3-2.  Berdasarkan Tabel 3-2 tersebut menunjukkan bahwa semua daerah di pulau Jawa memiliki curah hujan > 700 mm/4 bulan.  Kondisi tersebut menunjukkan bahwa ketersediaan air dari hujan tidak berpengaruh nyata terhadap penurunan produktifitas, walaupun sebenarnya di lapangan terjadi beberapa daerah di Utara pantai Jawa mengalami bencana banjir pada bulan Januari dan Pebruari.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3-2.  Jumlah Curah Hujan Selama Kuartal Pertama (Januari-April) 2002 di P. Jawa

No

Daerah

CH (mm)

1

Pandeglang

877

2

Lebak

875

3

Bogor

874

4

Sukabumi

854

5

Cianjur

848

6

Bandung

849

7

Garut

837

8

Tasikmalaya

788

9

Ciamis

833

10

Kuningan

842

11

Cirebon

849

12

Majalengka

848

13

Sumedang

851

14

Indramayu

856

15

Subang

860

16

Purwakarta

861

17

Karawang

870

18

Bekasi

876

19

Tangerang

887

20

Serang

898

21

Cilacap

832

22

Banyumas

830

23

Purbalingga

832

24

Banjarnegara

830

25

Kebumen

787

26

Purworejo

801

27

Wonosobo

828

28

Magelang

800

29

Boyolali

806

30

Klaten

755

31

Sukoharjo

749

32

Wonogiri

737

33

Karanganyar

751

34

Sragen

808

35

Grobogan

814

36

Blora

817

37

Rembang

821

38

Pati

822

39

Kudus

820

40

Jepara

803

41

Demak

779

 

 

No

Daerah

CH (mm)

42

Semarang

766

43

Temanggung

802

44

Kendal

824

45

Batang

817

46

Pekalongan

810

47

Pemalang

805

48

Tegal

814

49

Brebes

837

50

Kulon Progo

837

51

Bantul

838

52

Gunung Kidul

840

53

Sleman

840

54

Pacitan

727

55

Ponorogo

740

56

Trenggalek

731

57

Tulungagung

741

58

Blitar

745

59

Kediri

764

60

Malang

769

61

Lumajang

756

62

Jember

751

63

Banyuwangi

742

64

Bondowoso

763

65

Situbondo

772

66

Probolinggo

767

67

Pasuruan

788

68

Sidoarjo

827

69

Mojokerto

811

70

Jombang

792

71

Nganjuk

770

72

Madiun

757

73

Magetan

749

74

Ngawi

809

75

Bojonegoro

816

76

Tuban

821

77

Lamongan

822

78

Gresik

833

79

Bangkalan

838

80

Sampang

840

81

Pamekasan

841

82

Sumenep

845

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3-2. Jumlah Curah Hujan Selama Kuartal Pertama (Januari- April) 2002 di Pulau Jawa

 


3.3.  Kondisi Tingkat Kehijauan Lahan Padi Sawah di Pulau Jawa

            Berdasarkan hasil pengamatan menunjukkan bahwa data bulan Maret 2002 lebih baik digunakan untuk analisis tingkat kehijauan lahan padi, produktifitas, dan luas panen.  Hal tersebut disebabkan karena kondisi liputan awan yang tinggi pada bulan Januari, Pebruari, serta April 2002.  Selain itu akibat bencana banjir bulan Januari, dan Pebruari dapat dilihat pada bulan Maret 2002.

Berdasarkan perkembangan kehijauan lahan padi yang ditunjukkan oleh nilai indeks vegetasi (NDVI) terlihat bahwa sebagian besar daerah Pulau Jawa makin berkurang selama bulan Maret 2002.  Penurunan tingkat kehijauan lahan di daerah-daerah sentra padi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan sebagian daerah sentra padi di Jawa Timur berkaitan dengan pertumbuhan padi yang umumnya memasuki fase generatif atau menjelang panen, seperti yang terlihat dari angka luas panen yang tinggi di daerah-daerah tersebut.  Fase generatif diindikasikan oleh nilai slope NDVI yang negatif, sedangkan indikasi gejala kekeringan ditandai oleh nilai rataan NDVI yang kecil selama sebulan, yaitu < 0.24 (60 % dari 0.40 ).

Nilai rataan NDVI selama pertumbuhan padi dan grafiknya dapat dilihat pada Tabel 3-3. dan Gambar 3-3.  Berdasarkan Tabel tersebut daerah yang memiliki slope negatif dan NDVI < 0.24 antara lain : Cianjur, Sumedang, Indramayu, Jepara, Pekalongan, Wonosobo, Kediri, Jember, Jombang, Sampang, dan Pamekasan.  Sebaran spasial NDVI pada lima harian pertama bulan Maret 2002 dapat dilihat pada Gambar 1 lampiran.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3-3.  Rataan dan Slope NDVI Lahan Padi Selama Bulan Maret 2002 di P. Jawa

No

Daerah

NDVI

Slope

1

Pandeglang

0.22

0.002

2

Lebak

0.28

-0.003

3

Bogor

0.20

0.011

4

Sukabumi

0.34

0.003

5

Cianjur

0.24

-0.005

6

Bandung

0.21

0.002

7

Garut

0.23

0.015

8

Tasikmalaya

0.25

0.001

9

Ciamis

0.29

-0.001

10

Kuningan

0.25

-0.030

11

Cirebon

0.30

-0.008

12

Majalengka

0.16

0.007

13

Sumedang

0.21

-0.018

14

Indramayu

0.24

-0.009

15

Subang

0.22

0.009

16

Purwakarta

0.23

0.002

17

Karawang

0.26

0.004

18

Bekasi

0.17

0.013

19

Tangerang

0.24

0.008

20

Serang

0.26

-0.004

21

Cilacap

0.28

-0.008

22

Banyumas

0.25

0.002

23

Purbalingga

0.22

0.005

24

Banjarnegara

0.28

-0.011

25

Kebumen

0.34

-0.020

26

Purworejo

0.33

-0.011

27

Wonosobo

0.21

-0.050

28

Magelang

0.24

0.018

29

Boyolali

0.28

0.014

30

Klaten

0.22

0.003

31

Sukoharjo

0.21

0.006

32

Wonogiri

0.24

0.004

33

Karanganyar

0.23

0.005

34

Sragen

0.21

0.023

35

Grobogan

0.24

0.019

36

Blora

0.28

0.007

37

Rembang

0.31

0.009

38

Pati

0.24

0.028

39

Kudus

0.14

0.009

40

Jepara

0.24

-0.023

41

Demak

0.13

0.022

 

 

No

Daerah

NDVI

Slope

42

Semarang

0.26

0.016

43

Temanggung

0.26

0.023

44

Kendal

0.26

0.000

45

Batang

0.29

0.007

46

Pekalongan

0.24

-0.018

47

Pemalang

0.25

-0.016

48

Tegal

0.29

-0.008

49

Brebes

0.25

-0.023

50

Kulon Progo

0.31

0.008

51

Bantul

0.27

-0.007

52

Gunung Kidul

0.27

0.032

53

Sleman

0.25

0.005

54

Pacitan

0.32

0.004

55

Ponorogo

0.27

0.009

56

Trenggalek

0.31

-0.004

57

Tulungagung

0.29

0.001

58

Blitar

0.29

0.004

59

Kediri

0.24

-0.002

60

Malang

0.30

0.006

61

Lumajang

0.29

-0.004

62

Jember

0.24

-0.007

63

Banyuwangi

0.30

0.004

64

Bondowoso

0.22

0.011

65

Situbondo

0.33

-0.002

66

Probolinggo

0.28

0.012

67

Pasuruan

0.26

0.021

68

Sidoarjo

0.23

0.041

69

Mojokerto

0.25

0.014

70

Jombang

0.24

-0.004

71

Nganjuk

0.21

0.019

72

Madiun

0.19

0.019

73

Magetan

0.24

0.001

74

Ngawi

0.19

0.023

75

Bojonegoro

0.19

0.016

76

Tuban

0.27

0.006

77

Lamongan

0.12

0.024

78

Gresik

0.09

0.034

79

Bangkalan

0.25

0.004

80

Sampang

0.17

-0.004

81

Pamekasan

0.25

-0.014

82

Sumenep

0.19

0.002

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3-3.  Profil Rataan NDVI Selama Bulan Maret 2002 di Pulau Jawa


3.4.  Perkiraan Luas Panen Padi Sawah

Perkiraan luas panen padi sawah pada kuartal pertama (Januari – April)  tahun 2002 dapat diketahui dengan menggunakan data lima harian akhir Bulan Desember atau awal bulan Januari 2002 menggunakan data NOAA AVHRR atau menggunakan Data Landsat TM.  Angka Ramalan Panen sebelumnya telah dihasilkan dengan menggunakan data Landsat TM bulan Desember 2001 dan Januari 2002.  Selanjutnya untuk kegiatan pemantauan dapat digunakan data bulan Maret, karena pada umumnya data-data di bulan Januari dan Pebruari memiliki liputan awan yang besar, sehingga mempengaruhi nilai spektral obyek serta banyak lahan sawah yang tertutup awan.  Data Landsat TM bulan Desember 2001 yang tersedia tidak dapat mencakup seluruh daerah di pulau Jawa karena kendala liputan awan.  Selain itu bencana banjir yang terjadi pada bulan Januari dan Pebruari 2002 menyebabkan banyak terjadi gagal panen untuk bulan Januari dan Pebruari pada daerah-daerah sentra produksi di pulau Jawa yang terletak dekat pantai Utara. Atas dasar itu untuk kegiatan pemantauan pada kuartal pertama tahun 2002 (pasca bencana banjir), penggunaan data NOAA bulan Maret 2002 cukup relevan untuk mengisi kekosongan data serta keberhasilan panen yang masih belum optimal dari Aram Landsat TM.

Fase dan umur tanaman padi pada awal bulan Maret 2002 disajikan pada        Gambar 2 Lampiran. Perkiraan luas panen pada kuartal Pertama dapat dilihat pada Gambar 3 lampiran.  Perkiraan luas panen untuk setiap daerah disajikan secara detil pada Tabel lampiran.  Berdasarkan Tabel lampiran menunjukkan bahwa daerah Garut, Sumedang, Wonosobo, Batang, Kulon Progo, Pacitan, Pasuruan, Probolinggo, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Gresik, Sampang, dan Sumenep memiliki luas panen kurang dari 15,000 Ha.  Berkurangnya luas panen antara lain disebabkan oleh keterlambatan tanam atau pola tanamnya bukan untuk padi, tetapi palawija, rusak akibat banjir, serta liputan awan yang besar, sehingga data tidak dapat diolah, misalnya daerah Batang (Jawa Tengah).  Pola tanam bukan padi ditandai dengan tidak adanya fase air.  Sementara itu daerah dengan angka perkiraan luas panen yang tinggi (lebih dari 70,000 Ha) umumnya adalah daerah sentra padi yaitu Karawang, Subang, Indramayu, Cilacap, Grobogan, Kediri, dan Jember. Daerah Wonosobo memiliki luas panen yang rendah karena persen liputan awannya besar ( > 50 %), sehingga tidak dapat diolah lebih lanjut dengan menggunakan data inderaja untuk menghasilkan informasi luas panen padi.

 

No

Daerah

Panen (Ha)

1

Pandeglang

      30,543.4

2

Lebak

      24,401.5

3

Bogor

      31,074.8

4

Sukabumi

      33,033.7

5

Cianjur

      36,480.7

6

Bandung

      38,135.8

7

Garut

      12,411.1

8

Tasikmalaya

      33,464.5

9

Ciamis

      35,373.4

10

Kuningan

      31,584.3

11

Cirebon

      44,932.9

12

Majalengka

      32,509.0

13

Sumedang

      14,021.8

14

Indramayu

    115,709.2

15

Subang

      74,167.0

16

Purwakarta

      39,666.1

17

Karawang

      94,584.0

18

Bekasi

      57,891.1

19

Tangerang

      65,354.7

20

Serang

      52,903.3

21

Cilacap

      79,378.4

22

Banyumas

      37,086.1

23

Purbalingga

      27,068.9

24

Banjarnegara

      16,304.9

25

Kebumen

      42,049.6

26

Purworejo

      32,612.2

27

Wonosobo

        4,742.5

28

Magelang

      49,026.8

29

Boyolali

      29,202.9

30

Klaten

      44,633.1

31

Sukoharjo

      35,085.5

32

Wonogiri

      29,990.9

33

Karanganyar

      33,136.3

34

Sragen

      43,901.9

35

Grobogan

      79,238.2

36

Blora

      61,956.6

37

Rembang

      23,497.1

38

Pati

      48,734.9

39

Kudus

      18,711.5

40

Jepara

      17,678.7

41

Demak

      66,635.5

Daerah : Kodya digabung dengan Kabupaten

 

No

Daerah

Panen (Ha)

42

Semarang

      20,693.8

43

Temanggung

      20,607.5

44

Kendal

      22,451.9

45

Batang

        9,475.9

46

Pekalongan

      22,785.8

47

Pemalang

      35,797.7

48

Tegal

      53,041.9

49

Brebes

      33,294.6

50

Kulon Progo

        9,019.3

51

Bantul

      25,043.1

52

Gunung Kidul

      17,085.6

53

Sleman

      35,223.2

54

Pacitan

        5,528.3

55

Ponorogo

      52,937.2

56

Trenggalek

      15,200.9

57

Tulungagung

      40,458.5

58

Blitar

      50,033.3

59

Kediri

      75,233.5

60

Malang

      68,554.9

61

Lumajang

      43,748.5

62

Jember

    109,468.6

63

Banyuwangi

      64,332.5

64

Bondowoso

      27,465.1

65

Situbondo

      16,635.7

66

Probolinggo

        6,579.7

67

Pasuruan

      12,761.8

68

Sidoarjo

        7,078.8

69

Mojokerto

        9,575.8

70

Jombang

        4,112.3

71

Nganjuk

      34,022.8

72

Madiun

      29,644.1

73

Magetan

      30,082.4

74

Ngawi

      39,938.5

75

Bojonegoro

      55,289.8

76

Tuban

      48,651.6

77

Lamongan

      43,283.0

78

Gresik

        8,869.8

79

Bangkalan

      24,113.3

80

Sampang

        4,815.5

81

Pamekasan

        8,296.0

82

Sumenep

        2,546.7

 

 
Tabel 3-4.  Perkiraan Luas Panen Padi (Januari-April) 2002 di P. Jawa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3-4.  Perkiraan Luas Panen Padi di Pulau Jawa pada Kuartal Pertama (Januari – April) Tahun 2002

 


3.5.  Produktifitas dan Produksi Padi Sawah

 Produktifitas tanaman padi pada kuartal satu tahun 2002 ini sangat bervariasi, yaitu berkisar antara 40.4 – 56.7 Kw/Ha di Jawa Barat; 30.6 – 56.6 Kw/Ha di Jawa Tengah, dan antara 35.7 – 55.3 Kw/Ha di Jawa Timur.    

Produktifitas yang rendah ( < 41 Kw/Ha) terjadi di daerah : Demak, Gresik, Lamongan, Majalengka, Sidoarjo, dan Semarang. Produktifitas yang tinggi ( > 55.1 Kw/Ha) terjadi di daerah Karawang, Sukabumi, Kuningan, Indramayu, dan Ciamis (Jawa Barat).  Daerah di Jawa Tengah dengan Produktifitas padi yang tinggi adalah Tegal, Blora, Cilacap, sedangkan di Jawa Timur meliputi Tuban.  Jika selama kuartal pertama tersebut lahan padi sawah ditanami palawija, maka Produktifitas yang cukup tinggi juga akan terdeteksi, terutama pada saat tanaman palawija tersebut berada pada fase vegetatif aktif. 

Total produksi padi yang dapat dicapai di pulau Jawa pada Kuartal Pertama Tahun 2002 diperkirakan sebesar 9,108,159.5 Ton, dengan perincian Jawa Barat dan Banten sebesar 2,881,430.8 Ton, Jawa Tengah sebesar 3,455,841.7 Ton, dan Jawa Timur sebesar 2,770,887.0 Ton.  Secara detil untuk tiap daerah dapat dilihat pada tabel 3-5.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tabel 3-5.  Rataan Produktifitas Aktual (Pva) dan Produksi Kering (Prk) Padi di Pulau Jawa untuk  Semester Pertama (Januari – April) Tahun 2002

No

Daerah

Pva

Kw/Ha

Prk

Ton

1

Pandeglang

47.9

               92,528.8

2

Lebak

54.5

               84,065.4

3

Bogor

48.1

               94,414.7

4

Sukabumi

56.3

             117,516.6

5

Cianjur

54.7

             126,130.7

6

Bandung

47.6

             114,760.4

7

Garut

48.9

               38,333.6

8

Tasikmalaya

44.0

               93,078.1

9

Ciamis

56.1

             125,311.4

10

Kuningan

55.7

             111,272.5

11

Cirebon

56.7

             160,993.8

12

Majalengka

40.4

               83,043.0

13

Sumedang

52.2

               46,298.1

14

Indramayu

56.3

             411,574.5

15

Subang

52.4

             245,471.1

16

Purwakarta

50.1

             125,572.8

17

Karawang

55.3

             330,695.6

18

Bekasi

46.1

             168,614.5

19

Tangerang

52.8

             218,177.7

20

Serang

54.4

             181,752.6

21

Cilacap

56.6

             284,049.4

22

Banyumas

53.1

             124,460.7

23

Purbalingga

53.5

               91,541.5

24

Banjarnegara

53.1

               54,694.9

25

Kebumen

49.9

             132,711.4

26

Purworejo

56.5

             116,441.1

27

Wonosobo

50.7

               15,186.7

28

Magelang

47.4

             146,803.0

29

Boyolali

52.0

               95,885.8

30

Klaten

48.2

             135,920.4

31

Sukoharjo

46.5

             103,056.4

32

Wonogiri

47.7

               90,449.5

33

Karanganyar

47.8

             100,180.8

34

Sragen

46.9

             130,146.6

35

Grobogan

51.0

             255,230.7

36

Blora

55.3

             216,456.4

37

Rembang

54.8

               81,428.9

38

Pati

46.1

             141,946.0

39

Kudus

41.7

               49,322.6

40

Jepara

54.3

               60,721.1

41

Demak

30.6

             129,063.3

 

 

No

Daerah

Pva

Kw/Ha

Prk

Ton

42

Semarang

40.6

               53,122.0

43

Temanggung

47.4

               61,742.1

44

Kendal

50.8

               72,101.2

45

Batang

53.0

               31,765.6

46

Pekalongan

55.8

               80,311.7

47

Pemalang

53.0

             119,967.9

48

Tegal

55.2

             184,985.4

49

Brebes

53.7

             112,969.8

50

Kulon Progo

55.9

               31,872.9

51

Bantul

55.3

               87,492.5

52

Gunung Kidul

55.1

               59,534.5

53

Sleman

54.6

             121,463.6

54

Pacitan

48.4

               16,912.3

55

Ponorogo

47.7

             159,740.8

56

Trenggalek

48.3

               46,449.7

57

Tulungagung

48.6

             124,168.3

58

Blitar

48.1

             152,194.6

59

Kediri

47.7

             226,896.5

60

Malang

47.8

             206,922.8

61

Lumajang

48.6

             134,345.0

62

Jember

47.4

             328,133.7

63

Banyuwangi

48.1

             195,525.9

64

Bondowoso

47.2

               81,944.3

65

Situbondo

49.5

               52,039.0

66

Probolinggo

48.9

               20,334.2

67

Pasuruan

43.5

               35,085.0

68

Sidoarjo

40.6

               18,169.7

69

Mojokerto

54.8

               33,194.0

70

Jombang

47.4

               12,310.5

71

Nganjuk

45.1

               96,963.6

72

Madiun

41.6

               77,892.0

73

Magetan

48.3

               91,765.7

74

Ngawi

47.0

             118,565.7

75

Bojonegoro

48.4

             169,276.3

76

Tuban

55.3

             170,021.8

77

Lamongan

38.9

             106,388.8

78

Gresik

35.7

               20,033.8

79

Bangkalan

49.5

               75,379.2

80

Sampang

51.8

               15,779.5

81

Pamekasan

51.6

               27,061.2

82

Sumenep

49.2

                 7,911.6

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Gambar 3-5.  Produktifitas Aktual (Prv) dan Perkiraan Produksi Kering (Prod) Padi di

          Pulau Jawa Pada Kuartal Pertama (Januari – April) Tahun 2002


3.6.  Kondisi Cadangan Air di Beberapa Waduk

            Cadangan air di beberapa Waduk di pulau Jawa selama musim penghujan tidak begitu mengalami masalah.  Tetapi yang perlu dipantau adalah kemampuan waduk-waduk tersebut dalam menampung curah hujan yang besar sebagai salah satu indikator terjadinya banjir.

3.7.  Potensi Daerah Rawan Pangan

Hasil analisis tingkat Rawan Pangan untuk setiap daerah di pulau Jawa pada kuartal pertama tahun 2002 dapat dilihat pada Tabel  3-6.  Berdasrkan Tabel tersebut menunjukkan bahwa wilayah Jawa Barat akan mengalami kondisi yang Rawan adalah daerah Bogor, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Majalengka, dan Sumedang.  Daerah Bandung (Kabupaten dan Kodya) dan Bogor pada kenyataannya dapat menjadi Tidak Rawan karena teratasi dengan daya beli masyarakat dan aksesibilitas yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan pangan.  Daerah  Tasikmalaya dan Sumedang termasuk daerah Rawan Pangan yang disebabkan oleh luas sawah dan panen padi di daerah yang bersangkutan tidak dapat mencukupi kebutuhan pangan.   Keadaan tersebut disebabkan oleh jumlah penduduknya yang besar, tetapi memiliki daya beli yang cukup tinggi dan adanya pasokan dari daerah lain sehingga pada kenyataannya dapat menjadi tidak rawan atau agak rawan.  Sedangkan daerah yang mengalami kondisi agak rawan yaitu Sukabumi dan Tangerang.  

            Di Jawa Tengah hanya dua daerah yang terindikasikan akan mengalami Rawan Pangan, yaitu Wonosobo dan Semarang.  Daerah Semarang kemungkinan dapat mengatasi masalah kekurangan pangan karena daya beli masyarakat yang cukup tinggi untuk pengadaan pangan beras. Sedangkan di Jawa Timur menunjukkan daerah yang akan mengalami Rawan Pangan yaitu : daerah Probolinggo, Pasuruan, Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Sampang, dan Sumenep (Madura).  Namun daerah Gresik dan Sidoarjo dapat menjadi tidak rawan karena merupakan daerah industri dengan daya beli masyarakat yang relatif tinggi dan adanya pasokan beras dari daerah lain. Sementara untuk daerah Jombang, Probolinggo, Sampang, dan Sumenep kondisi rawan pangan diperkuat oleh kehijauan lahan yang cenderung makin rendah.

Daerah dengan kondisi Agak Rawan di Jawa Timur hanya dialami di daerah Malang.  Daerah Pacitan dan Sampang terlihat juga memiliki tingkat kehijauan lahan yang makin rendah sehingga kondisinya berpotensi menjadi rawan bila tidak diantisipasi.  Sementara itu, di daerah Mojokerto dan Pasuruan produksi padi yang rendah dapat disebabkan oleh adanya penanaman palawija seperti yang terlihat dari kehijauan lahannya, sehingga kondisi agak rawan dapat berubah menjadi tidak rawan karena adanya produksi bahan pangan alternatif.   Daerah agak rawan pangan di Jawa Tengah meliputi daerah  Brebes, Wonosobo, Jepara dan Kulon Progo (Yogyakarta).  Terjadinya kondisi tersebut disebabkan oleh rendahnya luas panen, terlambatnya tanam atau pada lahan padi ditanami tanaman lain selain padi, seperti palawija.  Selain itu hal tersebut memang karena jumlah kebutuhan pangan yang besar akibat dari jumlah penduduknya yang besar pula.  Oleh karena itu daerah-daerah tingkat II (Kabupaten dan Kodya) yang tidak memiliki sumber pangan alternatif lain, kurangnya pasokan bahan pangan dari luar daerah, serta daya beli masyarakatnya yang kurang, maka kondisi potensi Rawan Pangan harus diperhatikan dengan serius oleh Pemerintah Daerah setempat agar segera dapat diantisipasi.

 

KESIMPULAN

          Informasi tentang daerah yang berpotensi Rawan Pangan yang dianalisis dari data inderaja Satelit dan SIG (Sistem Informasi geografi) berdasarkan rasio antara produksi dan kebutuhan beras.  Produksi beras diduga dari produktifitas dan luas panen padi sawah dari data inderaja.  Dengan tanpa menggunakan faktor daya beli masyarakat dan aksesibilitas daerah, maka untuk periode kuartal pertama (Januari – April) tahun 2002, maka dihasilkan informasi sebagai berikut :

1.   Kondisi potensi Agak Rawan Pangan di Jawa Barat akan dialami di daerah : Sukabumi dan Tangerang, sedangkan di Jawa Timur terjadi di daerah Malang.

2.   Kondisi potensi Rawan Pangan di Jawa Barat akan dialami di daerah : Bogor, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Majalengka, dan Sumedang.  Di Jawa Tengah akan dilami di daerah : Wonosobo dan Semarang, sedangkan di Jawa Timur akan dialami di daerah Gresik, Sidoarjo, Jombang, Probolinggo,  Pasuruan, Mojokerto, Sampang dan Sumenep

 

 

 

Tabel 3-6.  Rasio Produksi-Kebutuhan Pangan (RPK) dan Kelas Kerawanan Pangan di

                  Pulau Jawa pada kuartal Pertama (Januari – April 2002)

No

Daerah

RPK %

Kelas

1

Pandeglang

71

Tidak Rawan

2

Lebak

40

Tidak Rawan

3

Bogor

-60

Rawan

4

Sukabumi

-4

Agak Rawan

5

Cianjur

24

Tidak Rawan

6

Bandung

-56

Rawan

7

Garut

-61

Rawan

8

Tasikmalaya

-8

Agak Rawan

9

Ciamis

42

Tidak Rawan

10

Kuningan

169

Tidak Rawan

11

Cirebon

72

Tidak Rawan

12

Majalengka

43

Tidak Rawan

13

Sumedang

-4

Agak Rawan

14

Indramayu

346

Tidak Rawan

15

Subang

188

Tidak Rawan

16

Purwakarta

292

Tidak Rawan

17

Karawang

225

Tidak Rawan

18

Bekasi

66

Tidak Rawan

19

Tangerang

1

Agak Rawan

20

Serang

97

Tidak Rawan

21

Cilacap

268

Tidak Rawan

22

Banyumas

108

Tidak Rawan

23

Purbalingga

218

Tidak Rawan

24

Banjarnegara

200

Tidak Rawan

25

Kebumen

165

Tidak Rawan

26

Purworejo

299

Tidak Rawan

27

Wonosobo

-28

Rawan

28

Magelang

269

Tidak Rawan

29

Boyolali

245

Tidak Rawan

30

Klaten

204

Tidak Rawan

31

Sukoharjo

97

Tidak Rawan

32

Wonogiri

261

Tidak Rawan

33

Karanganyar

187

Tidak Rawan

34

Sragen

226

Tidak Rawan

35

Grobogan

5818

Tidak Rawan

36

Blora

745

Tidak Rawan

37

Rembang

351

Tidak Rawan

38

Pati

188

Tidak Rawan

39

Kudus

80

Tidak Rawan

40

Jepara

52

Tidak Rawan

41

Demak

170

Tidak Rawan

 

 

No

Daerah

RPK %

Kelas

42

Semarang

-36.1

Rawan

43

Temanggung

211.2

Tidak Rawan

44

Kendal

107.7

Tidak Rawan

45

Batang

30.8

Tidak Rawan

46

Pekalongan

79.8

Tidak Rawan

47

Pemalang

123.6

Tidak Rawan

48

Tegal

156.8

Tidak Rawan

49

Brebes

46.0

Tidak Rawan

50

Kulon Progo

136.4

Tidak Rawan

51

Bantul

225.5

Tidak Rawan

52

Gunung Kidul

280.3

Tidak Rawan

53

Sleman

275.9

Tidak Rawan

54

Pacitan

24.1

Tidak Rawan

55

Ponorogo

537.2

Tidak Rawan

56

Trenggalek

118.6

Tidak Rawan

57

Tulungagung

267.7

Tidak Rawan

58

Blitar

292.2

Tidak Rawan

59

Kediri

294.9

Tidak Rawan

60

Malang

-8.1

Agak Rawan

61

Lumajang

259.5

Tidak Rawan

62

Jember

274.3

Tidak Rawan

63

Banyuwangi

176.4

Tidak Rawan

64

Bondowoso

157.6

Tidak Rawan

65

Situbondo

98.0

Tidak Rawan

66

Probolinggo

-58.0

Rawan

67

Pasuruan

-27.8

Rawan

68

Sidoarjo

-70.7

Rawan

69

Mojokerto

-8.8

Agak Rawan

70

Jombang

-69.4

Rawan

71

Nganjuk

139.1

Tidak Rawan

72

Madiun

137.8

Tidak Rawan

73

Magetan

298.5

Tidak Rawan

74

Ngawi

213.6

Tidak Rawan

75

Bojonegoro

281.5

Tidak Rawan

76

Tuban

627.3

Tidak Rawan

77

Lamongan

76.7

Tidak Rawan

78

Gresik

-85.5

Rawan

79

Bangkalan

168.3

Tidak Rawan

80

Sampang

-11.4

Rawan

81

Pamekasan

28.8

Tidak Rawan

82

Sumenep

-69.6

Rawan

 

 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, E.S, Evri, M. dan Santosa, I., 1994, “Estimasi produksi pada sawah dengan data iklim dan data satelit multitemporal”, Majalah LAPAN, No. 70, pp. 16-28.

 

Erfan, D., 1999, Pendugaan tingkat produktifitas tanaman padi dan palawija dengan VSM dan neraca tanaman air, Skripsi Sarjana, Jurusan GM, FMIPA-IPB, Bogor.

 

Dirgahayu, D., 1999, “Aplikasi model pendugaan umur padi untuk peramalan luas panen padi di Pulau Jawa”, Majalah LAPAN (edisi Penginderaan Jauh), No. 2, Vol.2.

 

Johnson G.E., A. van Dijk dan C.M. Sakamoto, 1987, “The use of AVHRR data in operational agricultural assessment in Africa”, Geocarto Int. J., Vol. 1, 41-60.

 

Kushardono, D., 1991, “Pemanfaatan data satelit NOAA AVHRR untuk pendugaan produksi tanaman padi (Oryza Sativa sp) pada regional Jawa Barat”, Kumpulan Makalah PUSFATJA LAPAN Tahun 1990/1991, No. D-I/01-1991, pp. 241-268.

 

Kushardono, D., Hidayat, A., Adiningsih, E.S., 1999, “ Analisis perubahan cuaca pada Areal persawahan di Pulau Jawa dan pengaruhnya terhadap produktifitas padi”, Makalah Pekan Kaji dan Uji Hasil Litbang Pusfatja-LAPAN 1998/1999.

 

Kobayashi K., 1996, “Very Simple Model”, In: ICSEA-GCTE 1996: Modelling the impact of Global Change on Rice and Crop Production in Southeast Asia, ICSEA-GCTE, Bogor.

 

Kustiyo, Arief, H., Adiningsih, E.S., 1999, “Model Prediksi anomali OLR dan curah hujan di atas wilayah tropik dari anomali suhu permukaan laut Pasifik Tropik selama ENSO”, Majalah LAPAN, No. 1, Vol. 1, pp. 31-36.

 

Maselli F., Conese C., Petkov L. and Gilbert M.A., 1993, “Environmental monitoring and crop forecasting in Sahel through the use of NOAA NDVI data; A case study: Niger 1986-89”, Int. J. Remote Sensing, vol. 14, No. 18, 3471-3488.

 

Quarmby N.A., Milnes M., Hindle T.L. and Silleos N., 1993, “The use of multitemporal NDVI measurements from AVHRR data for crop yield estimation and prediction”, Int. J. of Remote Sensing, Vol. 14, No. 2, 199-210.

 

Sadik, K. 1994, Sistem Pakar untuk menganalisis keamanan pangan masa sekarang dan jangka pendek, Skripsi Jurusan Statistika, IPB, Bogor.

 

Taylor, 1991. Assessing Household Food Sensity, A Framework and Questionaire, Center for Food Sensitivity, Univ. of Guelph, Canada.

 

Taylor, D.S. and Philips, T., 1992, Summary at the Food Sensity Analysis using the phase II Questionaire, The Center for Food Sensitivity, Univ. of Guelph, Canada.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

L A M P I R A N

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 
 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1.  Tingkat Kehijauan (NDVI) Lahan Padi di P. Jawa Lima Harian Pertama Bulan Maret 2002