MATERI TARBIYAH
SENTUHAN FITRAH

Indeks KTPDI | Kumpulan Materi Tarbiyah | Konsultasi Islam | Arsip Konsultasi Islam



From     : M. Syamsi Ali
Subject  : SENTUHAN FITRAH


Tulisan ini mungkin terlambat, tapi semoga ada manfaatnya dalam usaha
menambah wawasan keimanan dan keilmuan kita.

Ramadan, bulan puasa telah berlalu. Sebulan penuh itu seorang Muslim
berupaya semaksimal mungkin untuk menjadi hamba yang abid, meninggalkan 
kenikmatan duniawinya di siang hari dalam rangka mendekatkan atau 
taqarrub  kepada Allah SWT. Di bulan puasa inilah seorang hamba akan 
berupaya semaksimal mungkin untuk mengenal alam spiritual yang agung. 
Makan, minum dan hubungan suami isteri yang merupakan simbol jasadiyah 
kehidupan ditinggalkan dalam masa tertentu, untuk menyingkap pandangan 
material manusia untuk mengembalikan pandangan spiritualnya.

Kemampuan manusia menembus alam materialnya dalam melihat dunianya,
merupakan kemenangan yang luar biasa. Sebab hanya dengan kapabilitas 
tersebut, manusia mampu membedakan wujudnya dari wujud-wujud makhluk 
lainnya. "ya'lamuuna zaahiran minal hayatid dunya wa hum 'anil Akhirati 
hum ghaafiluun" (Mereka tahu dari kehidupan dunia ini hanya yang 
lahir-lahir semata. Sedangkan mereka lalai terhadap kehidupan Akhirt". 
Ayat lain menjelaskan, "Sungguh Kami telah persiapkan neraka jahannam 
untuk kebanyakan dari kalangan Jin dan manusia. Sebabnya, mereka punya
mata namun tidak melihat, punya telinga namun tidak mendengar, punya 
hati tapi tidak faham. Mereka itu seperti binatan, malah lebih sesat 
dari binatan". Pada bagian lain, dijelaskan, "Mereka itu makan dan 
bersenang-senang sebagaimana hewan-hewan makan dan bersenang-senang".

Ungkapan Al Qur'an yang sangat keras terhadap sebagian manusia di 
atas, bukanlah suatu yang samar lagi dalam kehidupan manusia saat ini.
Karakteristik hewani manusia telah dominan, sehingga nilai-nilai kesucian
spiritualnya telah terabaikan bahkan terkadang dianggap momok bagi kehidupan
manusia itu sendiri. Ini tentunya, adalah konsekwensi langsung dari kebutaan
manusia dalam pandangan spiritual. Sehingga mata kasar melihat dengan jelas
segala yang kasat pandang, namun di balik pandangan kasat itu semuanya
mereka buta. Ketidak mampuan memandang secara spiritual inilah yang 
melahirkan berbagai sifat maupun sikap bodoh yang lebih dikenal dengan 
istilah "jahiliyah".

Merayakan Idul Fitri.

Keberhasilan manusia dengan puasanya untuk menyingkap tabir pandangan kasat
menuju kepada pandangan spiritual, sebagaimana dikatakan, adalah merupakan
kemenangan yang besar (fawz adziim). Kemenangan inilah yang lazimnya
dirayakan oleh kaum Muslimin di penghujung Ramadan. Mereka bergembira,
bersuka ria terlepas dari kungkungan material yang selama ini menjadi
penghalang antara dirinya dan dunia kemanusiaannya atau alam insaniyahnya.
Kembalinya manusia ke alam insaniyah yang sesungguhnya inilah yang disebut
"idul Fitri" atau kembali ke fitrah (kesucian, kealamiahan).

Fitrah inilah sesungguhnya yang kita sebut tadi dengan penglihatan
spiritual. Yaitu suatu kemampuan untuk memandang dengan hati nurani. 
Pandangan nurani inilah sesungguhnya pandangan manusiawi. Pandangan 
yang mampu menjangkau di balik pandangan kasat. Sebagai ilustrasi, 
jika anda berjalan bersama 5 kawan yang datang dari latar belakang; 
warna kulit, bahasa, tradisi, bangsa Eropa, Asia, Afrika, China, Arab, 
dll, tiba-tiba di tengah jalan anda dan kawan-kawan ini menyaksikan 
suatu tabrakan dahsyat, dimana seorang bayi ditabrak mobil misalnya. 
Maka saya yakin, semua yang menyaksikan itu, baik yang hitam, putih, 
bermata sipit, Eropa, China, Asian, dll, semuanya akan merasakan suatu 
perasaan yang sama. Yaitu suatu perasaan iba, kasihan atau apapun 
istilahnya. Yang jelas terjadi suatu perasaan yang sama pada setiap
individu yang berlatar belakang sosial mapun lahiriyah yang jauh berbeda.

Perasaan inilah sesungguhnya merupakan indikasi fitrah yang paling kuat
dalam diri seseorang. Semua manusia memiliki perasaan seperti ini. Karena 
fitrah ini tak akan mungkin terobah apalagi hilang dari seorang manusia.
"Fitratallahi allati fatarannasa 'alaeha laa tabdiila likhalqillah" (Fitrah
Allah, dimana manusia diciptakan sesuai dengan fitrah itu. Tiada perubahan
dalam ciptaan fitrah itu).

Maka istilah Idul fitri sesungguhnya, bukanlah istilah yang harus
ditafsirkan secara harfiyah (tekstual), melainkan difahami sebagai upaya 
untuk menyingkap berbagai sitar antara dunia manusia dengan alam nuraniya
(fitrahnya) sendiri. Di sinilah manusia (baca ummat Islam) diwajibkan 
meninggalkan simbol-simbol kesenangan dunianya (kecenderungan perut dan 
apa yang di bawah perut) di siang hari untuk mengikis kecenderungan yang 
melupakan (lahwun) fitrah.

Pokok-pokok sentuhan Fitrah

Sebenarnya kehidupan manusia seluruhnya harus tertata di atas nilai-nilai
fitrah ini. Sebab memang manusia diciptakan di atas nilai-nilai fitrah tadi
(Fitratallahi allati fatarannasa 'alaeha). Namun demikian, dapat dikatakan
bahwa sentuhan pokok fitrah manusia ada pada 4 hal:

Pertama, Ma'rifat al Khaliq

Sentuhan fitrah yang paling terbesar adalah pengenalan terhadap sang Khaliq.
Barangkali inilah sentuhan fitrah yang terbesar karena merupakan fakta
terbesar pula dalam kehidupan manusia. Sehingga dikatakan, jika seorang
manusia tidak lagi mengenal Tuhannya maka jangan diharap dia akan mengenal
apapun, termasuk dirinya. Barangkali inilah fakta kehidupan manusia saat
ini.
Manusia tidak lagi mengenal apa-apa dengan benar, termasuk mengenal dirinya
sendirinya, karena mereka telah jahil terhadap hakikat Rabnya. "Nasullaha
fansaahum anfusahum, ulaaika humul ghaafiluun" (Mereka lupa Allah, maka
Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-
orang yang lalai).

Memang rasanya sangat berlebihan jika manusia tidak lagi mengenal Tuhannya.
Padahal hakikatnya, dimana pun mata memandang Tuhan menampakkan diriNya
(kebesaranNya) secara jelas. Di sinilah sebabnya, sehingga Rasulullah SAW
pernah bersabda: "Pikirkanlah ciptaan Allah dan Jangan memikirkan Dzat
Allah, sebab kamu tak akan mampu mencapaiNya". Disebutlah dalam buku-buku
sejarah para ahli tasawuf, bahwa suatu ketika AL Ghazali berjalan di 
pinggir pantai. Lalu di pandangnya keindahan ombak di lautan, seraya 
berujar: "aku lihat Tuhanku berenang-renang". Tentulah Al Ghazali
 memaksudkan di sini, betapa kebesaran Ilahi terpancar lewat keindahan 
ombak lautan sekalipun.

Berbagai ayat dalam Al Qur'an menjelaskan, bahwa Allah menampakkan
tanda-tanda kebesaranNya dalam segala ciptaanNya, termasuk dalam diri
manusia itu sendiri. "Akan Kami perlihatkan tanda-tanda kebesaran Kami 
di angkasa luar dan pada diri-diri mereka, apakah mereka tidak melihat?" 
Bahkan perintah menganalisa, membaca dalam Al Qur'an sebagai wahyu pertama 
intinya memerintahkan manusia untuk memikirkan penciptaan dirinya sendiri 
dalam upaya untuk mengenal Rabbnya Yang telah mencipta (Iqra' bismi Rabbika 
alladzi Khalaq".

"Tidakkah mereka lihat bagaimana onta diciptakan. Bagaimana langit
ditinggikan. Bagaimana gunung ditancapkan. Dan bagaimana bumi dihamparkan"
firmanNya.

Demikian menyatunya antara Khaliq dan fitrah manusia, sehingga seingkar
apapun manusia, ia tak akan mampu mengingkari adanya wujud Ilahi. Disebutkan
dalam Al Qur'an bahwa Iblis ketika diusir dari Syurgapun masih mengakui
kebesaran Ilahi. "Fabiizzatika laughwiyannahum ajma'iin" (Hanya dengan
kemuliaanMu ya Allah, akan kami sesatkan mereka semua).

Fir'aun sang mutakabbir yang berlebihan, pengaku tuhan tertinggi, bahkan
berpura-pura tidak mengenal Tuhan ketika Musa AS memperkenalkan kebesaranNya
kepadanya: "Wamaa Rabbukuma ya Musa wa Haruun" (Siapa sih Tuhanmu wahai Musa
dan harun?). Namun terbukti bahwa fitrahnya tak akan mampu mengingkari Tuhan
ketika ia tenggelam di laut merah, di saat keangkuhannya tersingkap karena
dunia luarnya telah mengkhianatinya. Kekuasaannya, tentaranya, kekayaannya,
dan semua kesombongannya lari meninggalkannya di tengah laut menjerit-jerit
memohon pertolongan. Akhirnya, ia berkata: "al aana amantu biRabbi Musa wa
Haruun" (Sekarang saya beriman kepada Tuhannya Musa dan Harun). Inilah
pengakuan fitrah. Namun pengakuan terpaksa tak akan pernah diterima dalam
ajaran kebenaran.

Kini manusia modern berpura-pura pula tidak mengenal Allah. Namun dari hari
ke hari, mereka jsuteru sesungguhnya mengejar, berlari mencari Tuhannya.
Batin mereka menjerit. Mencari sesuatu yang lebih dari apa yang saat ini
nampak, dan apapun yang akan nampak dalam pandangan kasat manusia 
(material). Mereka mengejar semua itu, namun tak kunjung mendapatkannya, 
karena mereka tenggelam dalam kepura-puraan mengingkari fitrahnya. 
Nuraninya tertutupi alam material untuk mengakui Ilahnya yang terang 
benderang di hadapan matanya.

Kedua, Ma'rifat al insan.

Sebagaimana disebutkan bahwa keberhasilan manusia dalam mengenal Tuhannya
atau kegagalannya dalam mengenal Tuhannya akan melahirkan pula pengenalan
terhadap dirinya atau kejahilan terhadap dirinya sendiri. Manusia hanya akan
sadar akan dirinya jika sadar akan Tuhannya. Sebaliknya, manusia akan jahil
terhadap dirinya jika ia jahil terhadap Tuhannya. Sehingga sebagai
penafsiran dari ayat: "Nasullaaha fa ansaahum anfusahum" (mereka lupa 
Allah, maka Allah menjadikan mereka lupa pada diri mereka sendiri), 
disebutkan dalam  sebuah pepatah Arab: "man 'arafa nafsahu faqad 'arafa 
Rabbah" (siapa yang kenal dirinya maka dia sudah kenal Tuhannya). Ini 
adalah konsekwensi logis. Bahwa mereka yang mengenal Allah, baik dalam 
alam pemikiran (keyakinan/iman) maupun aksinya (amal), adalah manusia 
yang sadar akan dirinya. Mereka tahu, dari mana mereka, bagaimana mereka,
serta akan ke mana mereka sesungguhnya dalam kehidupan ini.

Berbeda dengan mereka yang tidak sadar diri (karena tidak kenal Tuhan),
mereka serba semrawut kehidupannya. Kehidupan manusia semacam ini adalah
kehidupan "budak-budak" material yang tunduk patuh kepada rutinitas
keduniaan. Mereka tidak lagi sebagai "ahsanu taqwiim" (sebaikbaik ciptaan),
atau makhluk yang termulia (karramna banii aadam) serta bukan lagi sebagai
pemegang amanah pengendali bumi (khalifah) yang telah diberikan autoritas
penuh "Huwalladzi khalaqa lakum maa fil ardh" (Dialah Allah yang telah
menjadikan semuanya "bagimu" apa-apa yang ada di atas bumi ini) untuk
mengelolah bumi ini dalam rangka kemakmuran mereka sendiri. Sebaliknya,
mereka telah menjadi budak-budak keduniaan (material). Mereka tidak punya
pijakan hidup, sehingga mereka cenderung mengikut kepada "perubahan situasi"
dan bukannya mereka menjadi "penggerak/pengendali prubahan" tersebut.

Kegagalan manusia dalam mengenal dirinya inilah yang melahirkan berbagai
sifat maupun sikap yang serba jahil. Kesimpang siuran nilai-nilai kehidupan,
kesemrawutan prilaku, menjadi fenomena utama masyarakat jahil tersebut.
Barangkali contoh-contoh klasik, seperti homoseksualitas, lesbianisme,
poliamorisme, free sex, berbagai bentuk violence, dll, adalah contoh-contoh
yang terjadi setiap saat di depan mata kita. Manusia telah berdaya upaya
untuk menanggulangi semua ini. Milyaran dollar telah dibelanjakan untuk
mencari solusi. Namun tak kunjung redah apalagi habis, karena dalam
prosesnya justeru manusia semakin diajak untuk tidak mengenal dirinya 
sendiri. Dan ini pulalah dilema dunia barat saat ini. Sadar akan 
keboborokan yang terjadi, namun tidak sadar kalau semua itu sebagai akibat 
dari kejahilan terhadap dirinya, akibat kejahilan akan KhaliqNya.

Ketiga, Ma'rifat al Wali wal 'Aduw

Sentuhan fitrah yang ketiga adalah mengenal kawan dan lawan. Sebagaimana
perkawanan (walaa), permusuhan ('adaa) juga adalah bagian dari fitrah
manusia. Hanya saja, bahwa dalam kenyataannya manusia banyak tidak mengenal
siapa kawan (wali) dan siapa pula musuh ('aduw)nya. Sehingga terkadang
manusia yang seharusnya bermusuhan dengan musuh-musuhnya, menjadi berkawan
bahkan terkadang kongkalikong (kolusi) dengan musuh-musuhnya.

Ketika Adam pertama kali diturunkan di atas bumi ini, pesan Allah yang
pertama kepada Adam dan isterinya adalah: "Qulnahbithuu ba'dhukum liba'dhin
adhuwwun" (Turunlah kamu dalam keadaan bermusuhan). Para ulama mengatakan
bahwa "ba'dhukum liba'dh" di atas adalah salah satu bentuk kata yang
menggambarkan keadaan atau "haal" dalam istilah tata bahasa Arab. Artinya,
manusia hadir di atas dunia ini dalam keadaan bermusuhan. Bermusuhan dengan
siapa? Konteks ayatnya jelas, yaitu dengan Iblis.

Masalahnya adalah seringkali kita salah persepsi bahwa Iblis itu adalah
makhluk terpisah yang jauh dari kita. Barangkali ini benar. Namun dilihat
dari hakikatnya, sesungguhnya Iblis itu terkadang menyatu dengan diri-diri
kita. Karena demikian dekatnya, sehingga semua arah terkuasai olehnya untuk
menggoda kita. "Dari depan, belakang, kanan dan kiri" semuanya dapat
dipergunakan untuk menyesatkan manusia. Ini pula maknanya, sehingga
Rasulullah SAW mengatakan bahwa musuh terbesar kita adalahmusuh yang ada
pada diri kita sendiri (hawa nafsu).

Untuk melepaskan kungkungan Iblis (musuh) terhadap diri kita diperlukan
Allah (wali) sebagai pembenteng. Manusia yang taqarrub (dekat) dengan 
Tuhannya inilah yang pasti jauh dari musuhnya (Iblis). "Allaahu 
Walyyulladzina aamanuu. Walladziina kafaruu awliyaauhum at Thaguut" 
(orang-orang yang beriman itu walinya adalah Allah, sedangkan orang-orang 
kafir wali-walinya adalah thagut). Dan orang yang menjadikan Allah sebagai
walinya tak akan mengalami rasa takut dan khawatir dalam kehidupan ini.
"Alaa inna awliyaaLLAHI laa khawfun 'alaihim walaa hum yahzanuun" (Sungguh 
bagi wali-wali Allah tiada takut bagi mereka dan tiada mereka bersedih).
Kini ditemukan bahwa ternyata penyakit "takut dan khawatir" adalah sumber 
dari berbagai penyakit manusia. Dan ini pula kekhasan manusia modern, jika 
miskin bersedih, jika kaya takut bangkrut. Akhirnya hidupnya dibayang-
bayangi oleh hantu "takut" dan "khawatir".

Keempat, ma'rifat al Waqi'

Manusia hidup di alam kenyataan. Bagi seorang Muslim hidup ini adalah
realita. Bukan sebagaimana teori nihilisme yang memandang dunia ini sebagai
"ilusi" yang seolah-olah hanya bayangan. Dari sinilah Al Qur'an menyatakan:
"Wa lakum filadhi mustaqarr wamataa'" (Bagimu di atas bumi ini tempat
tinggal dan kesenangan). Hanya saja, segera Allah lanjutkan: "ilaa hiin" 
(hingga pada batas tertentu). Batas ini meliputi dua makna, batas waktu dan 
juga batas kwalitas.

Maka pengenalan terhadap "alam kenyataan" juga merupakan bagian dari fitrah
manusia. Manusia tidak bisa berpura-pura jadi makhluk lain (malaikat)
misalnya, lalu cenderung mengingkari alam kenyataan ini. Sebab itu adalah
pengingkaran total terhadap fitrahnya sendiri. Maka rasulullah SAW sangat
marah kepada tiga sahabat yang bertekad meninggalkan dunia ini dalam rangka
pengabdian kepada Allah. Rasulullah SAW pernah mengatakan bahwa orang yang
mencari dunia ini namun tetap mengabdi kepada Tuhannya adalah lebih baik
ketimbang seseorang yang menghabiskan seluruh masanya hanya untuk ibadah
ritual semata. Bahkan berbagai ayat dalam Al Qur'an jelas-jelas mewajibkan
mencari dunia sebagaimana mewjibkan manusia mencari Akhiratnya.

Maka manusia yang tidak mengenal "Waqi'"nya akan menjadi "korban" kehidupan.
Sebab dia akan tergilas dengan perjalanan kehidupannya itu sendiri. Maka
bagi seorang Muslim, ia harus memandang kehidupan ini dengan pandangan yang
serius. Namun keseriusan itu tidak menjadikannya gagal untuk mengenal
hakikat dan tujuan hidup yang sesungguhnya (beribadah). Manusia Muslim 
tenggelam secara fisik ke alam bumi, namun ia memiliki orientasi "langit" 
yang tinggi. Sebab hanya dengan keseimbangan seperti ini, manusia menemukan
fitrah kehidupannya yang sebenarnya.

Semoga 'Idul fitri kita merupakan pesta perayaan kemenangan fitrah. Amin!

M. Syamsi Ali
New York





Indeks KTPDI | Kumpulan Materi Tarbiyah | Konsultasi Islam | Arsip Konsultasi Islam

Rancangan KTPDI Hak cipta © dicadangkan.